Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Wahdatul Wujud dan Ancaman Politeisme dalam Mistisisme Islam

29
×

Wahdatul Wujud dan Ancaman Politeisme dalam Mistisisme Islam

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam sejarah pemikiran Islam, tidak ada konsep yang lebih membelah umat—antara pengagungan dan penolakan keras—selain doktrin Wahdatul Wujud (Kesatuan Eksistensi). 

Konsep yang digaungkan oleh tokoh-tokoh sufi seperti Ibn ‘Arabi ini mengklaim bahwa realitas tertinggi adalah satu, dan semua makhluk adalah manifestasi atau pancaran dari Tuhan. 

Di satu sisi, para pendukungnya menyebutnya sebagai puncak spiritualitas Islam.

Di sisi lain, para penentangnya melihatnya sebagai jalan menuju politeisme terselubung yang berbahaya.

Pertanyaannya: benarkah Wahdatul Wujud merupakan pencapaian puncak tauhid? Ataukah justru bentuk penyimpangan yang paling halus dari ajaran la ilaha illallah?

Jejak Wahdatul Wujud dalam Tasawuf

Dalam karya monumentalnya Fushush al-Hikam, Ibn ‘Arabi menulis, “Maka tidak ada yang menyembah selain Allah dalam segala bentuk penyembahan.

” Kalimat ini mengandung implikasi serius: bahwa semua bentuk penyembahan sejatinya menuju Tuhan, meskipun objeknya beragam. Ia membingkai konsep ini dalam kerangka cinta ilahiah yang meliputi seluruh alam.

Namun, kalimat tersebut telah memantik perdebatan berabad-abad. Ulama seperti Ibnu Taymiyah menganggap ajaran ini sebagai bentuk syirik halus. Dalam Majmu’ al-Fatawa, beliau menulis:

 “Wahdatul Wujud adalah perkataan para zindiq dan orang-orang yang keluar dari Islam. Ia lebih buruk dari penyembah berhala, karena musyrik Arab dulu masih membedakan antara pencipta dan makhluk.”

Apa yang diperingatkan Ibnu Taymiyah bukan sekadar retorika polemik. Jika semua wujud dianggap sebagai bagian dari Tuhan, maka batas antara Khalik dan makhluk menjadi kabur. 

Ini adalah jalan tergelincir ke dalam politeisme, yakni menyembah sesuatu selain Allah namun menganggapnya tetap sebagai bagian dari-Nya.

Al-Qur’an: Pemisah yang Tegas antara Tuhan dan Makhluk

Al-Qur’an secara konsisten memisahkan antara Allah dan ciptaan-Nya. Dalam surah Asy-Syura ayat 11, Allah menegaskan:

“Laisa kamitslihi syai’un — Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (QS. Asy-Syura: 11)

Ayat ini adalah tamparan telak terhadap semua bentuk upaya menyamakan atau menggabungkan Tuhan dengan makhluk. Al-Qur’an juga berulang kali menegaskan bahwa Tuhan adalah Pencipta, dan segala selain-Nya adalah ciptaan. Dalam surah Al-Furqan ayat 2 disebutkan:

ࣙالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَّلَمْ يَكُنْ لَّهٗ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا ۝٢

 “Yaitu Zat) yang milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, (Dia) tidak mempunyai anak, dan tidak ada satu sekutu pun dalam kekuasaan(-Nya). Dan Dia menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” (QS. Al-Furqan: 2)

Bahkan dalam surah Al-Ikhlas, doktrin ketauhidan dijaga sedemikian ketat:

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ ۝١اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ ۝٢لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ ۝٣وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌࣖ ۝٤

“Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 1–4)

Konsep-konsep ini menunjukkan bahwa setiap penyamaan antara Tuhan dan makhluk—apalagi menyebut makhluk sebagai manifestasi Tuhan—bertentangan dengan ruh Al-Qur’an.

Mistisisme dan Ambiguitas Bahasa Spiritual

Sebagian kalangan sufi menyatakan bahwa doktrin Wahdatul Wujud hanyalah bentuk simbolik dari kesadaran spiritual terdalam. Namun, ketika bahasa simbolik itu digunakan di luar disiplin yang ketat, ia dapat membingungkan umat, bahkan membuka jalan pada praktik-praktik kesyirikan. Contohnya adalah pengultusan wali, syekh, atau tokoh spiritual yang dianggap “menyatu dengan Tuhan”.

Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya al-Tashawwuf Bayna al-Tasfiyah wa al-Tarbiyah menulis:

“Sebagian tarekat sufi telah melebih-lebihkan syekh mereka hingga mendekati posisi ketuhanan. Ini adalah penyimpangan nyata dari akidah Islam yang lurus.”

Bahkan doa-doa yang ditujukan melalui syekh atau wali, dengan keyakinan bahwa mereka adalah jalan tercepat menuju Tuhan, secara tidak langsung mereproduksi sistem perantara seperti dalam agama-agama politeistik.

Padahal Allah telah menegaskan:

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ…۝١٨٦

 “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku…..” (QS. Al-Baqarah: 186)

Tidak ada syarat khusus, tidak ada syekh, tidak ada wirid eksklusif. Hanya doa yang tulus.

Mengapa Umat Harus Waspada?

Bahaya dari doktrin seperti Wahdatul Wujud bukan semata pada tataran filsafat. Ia bisa menjelma menjadi sistem kepercayaan yang membenarkan praktik syirik dan kultus personal. Dalam sejarah, kita melihat munculnya kelompok-kelompok yang menuhankan manusia, menyamakan tokoh spiritual dengan Tuhan, atau menganggap bahwa semua agama sama karena “semuanya menuju Tuhan yang satu”.

Padahal, Al-Qur’an mengecam dengan keras penyamaan Tuhan dengan selain-Nya:

…وَلَا تَقُوْلُوْا ثَلٰثَةٌۗ اِنْتَهُوْا خَيْرًا لَّكُمْۗ اِنَّمَا اللّٰهُ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۗ سُبْحٰنَهٗٓ اَنْ يَّكُوْنَ لَهٗ وَلَدٌۘ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًاࣖ ۝١٧١

“Dan janganlah kamu mengatakan: ‘Tiga’, berhentilah (dari ucapan itu). Itu lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Dia dari memiliki anak.Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Cukuplah Allah sebagai pelindung.” (QS. An-Nisa: 171)

Ini bukan hanya kritik terhadap Trinitas, tapi peringatan abadi bagi setiap umat Islam agar tidak tergelincir dalam klaim penyatuan makhluk dengan Sang Pencipta.

 Kembali kepada Tauhid yang Murni

Wahdatul Wujud mungkin terdengar puitis, bahkan menggetarkan jiwa bagi mereka yang rindu spiritualitas. Namun jika konsep itu menabrak prinsip dasar tauhid, maka kita wajib mengkritisinya.

Islam adalah agama wahyu, bukan spekulasi spiritual. Al-Qur’an adalah cahaya yang jelas (mubin), bukan teka-teki yang hanya bisa dipecahkan oleh segelintir “arifin”. Dan Tuhan adalah satu, tidak terbagi dalam ciptaan-Nya.

Sudah saatnya umat Islam mengembalikan spiritualitasnya kepada fondasi tauhid yang jernih dan kokoh, bukan pada ajaran-ajaran mistik yang mengaburkan perbedaan antara Khalik dan makhluk. Sebab di sanalah letak garis tegas antara iman dan syirik. (emha)

Catatan Redaksi:

Artikel ini merupakan bagian dari diskursus keilmuan dalam memahami hakikat tauhid dan bahaya sinkretisme dalam ajaran Islam. Tulisan ini tidak ditujukan untuk menyerang individu atau kelompok, tetapi mengajak pada refleksi mendalam berdasarkan wahyu Al-Qur’an. Pendapat dalam artikel menjadi tanggung jawab penulis.

 

Example 120x600