Scroll untuk baca artikel
BeritaPertanian

Bertani Bukan Takdir Orang Tak Sekolah: Mengubah Wajah Pertanian Indonesia

14
×

Bertani Bukan Takdir Orang Tak Sekolah: Mengubah Wajah Pertanian Indonesia

Share this article

ppmindonesia.com,Jakarta – Di banyak desa Indonesia, masih akrab terdengar ungkapan, “Kalau nggak bisa sekolah tinggi, ya jadi petani saja.

” Seolah bertani adalah pilihan hidup karena keterpaksaan, bukan pilihan sadar yang membanggakan. Padahal, tanpa petani, tidak akan ada nasi di meja makan, cabai di dapur, atau buah di keranjang belanja kita.

Namun inilah wajah ironi negeri agraris: sektor pertanian yang menjadi penopang pangan justru masih dianggap sebagai jalan terakhir, bukan karier pilihan.

Ketika Cangkul Disandingkan dengan Kemiskinan

Citra petani sering kali dihubungkan dengan kemiskinan, keterbelakangan, dan rendahnya pendidikan.

Tidak sedikit orang tua yang melarang anaknya meneruskan usaha bertani, karena trauma akan hidup yang “terperangkap” di sawah. 

Data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 56% petani hanya lulusan SD atau tidak tamat sekolah dasar.

Namun, apakah itu berarti dunia pertanian adalah ruang tertutup bagi orang terdidik?

Tentu tidak. Bahkan, sudah saatnya kita membalik paradigma itu: pertanian membutuhkan orang-orang berpendidikan, kreatif, dan berani berinovasi. 

Karena sejatinya, bertani bukan sekadar soal mencangkul dan menanam, tapi juga soal mengelola ekosistem pangan, memanfaatkan teknologi, dan memahami pasar.

Petani Modern Adalah Intelektual Lapangan

Menurut Dr. Ir. Muhammad Yusran, M.Si., dosen Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin,

“Petani masa depan adalah mereka yang mampu mengintegrasikan ilmu, teknologi, dan kearifan lokal. Bukan sekadar pekerja fisik, tapi pengelola sumber daya dan pelaku bisnis pangan.”

Kita bisa melihat contoh-contoh inspiratif: ada petani muda yang sukses mengembangkan pertanian hidroponik di lahan sempit kota, ada juga sarjana pertanian yang memanfaatkan aplikasi digital untuk memetakan cuaca dan menyusun jadwal tanam.

Mereka tidak melihat tanah sebagai beban, tapi sebagai aset yang bisa dikelola dengan ilmu dan inovasi.

Mengubah Wajah Pertanian Lewat Pendidikan

Sayangnya, sistem pendidikan kita belum banyak mendorong pertanian sebagai bidang strategis. Sekolah kejuruan pertanian kurang diminati, jurusan pertanian di kampus dianggap tidak seksi, dan kebanyakan lulusan justru bekerja di luar bidangnya.

Menurut Prof. Dwi Andreas Santosa dari IPB University,

“Indonesia menghadapi disorientasi regenerasi. Banyak sarjana pertanian tidak ingin jadi petani, dan banyak petani tidak ingin anaknya jadi petani. Ini persoalan mindset dan ekosistem.”

Untuk itu, diperlukan perubahan besar. Mulai dari cara pendidikan mengenalkan pertanian—bukan sekadar teori pupuk dan fotosintesis, tapi juga kewirausahaan agribisnis, teknologi, dan keberlanjutan. 

Selain itu, insentif, akses lahan, kredit mikro, serta jaminan harga hasil panen harus menjadi bagian dari paket dukungan untuk petani muda dan terdidik.

Mengembalikan Martabat, Membuka Harapan

Mengubah wajah pertanian Indonesia bukan pekerjaan semalam. Tapi langkah itu bisa dimulai dengan satu gagasan sederhana: bertani bukan takdir orang yang gagal sekolah, melainkan pilihan sadar orang-orang yang ingin berdaulat secara pangan, sosial, dan ekonomi.

Di tangan generasi baru yang terdidik dan peduli, pertanian bisa menjadi profesi strategis yang bermartabat. Karena hari ini, dunia tidak lagi hanya butuh orang yang tahu cara makan, tapi juga mereka yang tahu bagaimana makanan itu diproduksi—dengan ilmu, etika, dan keberlanjutan.

Dan itu adalah pekerjaan para petani masa depan: para intelektual yang membumi.(acank)

 

Example 120x600