ppmindonesia.com.Jakarta – Islam datang sebagai cahaya yang memerdekakan manusia dari kegelapan. Sebuah sistem hidup yang tak hanya menyentuh dimensi batin, tetapi juga membentuk kesadaran sosial, moral, dan intelektual.
Namun, dalam perjalanan sejarahnya, ajaran Islam yang semula bersumber pada pengabdian sadar kepada Allah, pelan-pelan mengalami transformasi menjadi dogma turun-temurun, dipelihara dalam bentuk simbol, bukan semangat.
Hari ini, tak sedikit dari kita yang melestarikan Islam sebagai identitas dan warisan, tapi tidak lagi menggali makna substansialnya.
Ibadah menjadi rutinitas mekanis. Dalil menjadi slogan. Spirit pengabdian tergantikan oleh kebanggaan atas ritual. Pertanyaannya: apakah ini bentuk pengabdian yang dikehendaki Al-Qur’an?
Dari Kesadaran Menuju Kebiasaan
Al-Qur’an berulang kali menyeru agar manusia menyembah Allah dengan kesadaran penuh, bukan karena tekanan, keturunan, atau ikut-ikutan.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS Al-Isra’ [17]:36)
Ayat ini menolak keras tradisi taklid buta. Tetapi ironisnya, banyak umat Islam hari ini mengikuti agama sebagaimana mengikuti adat: tanpa bertanya, tanpa menyelami makna, tanpa keinginan untuk tahu mengapa.
Ali Shariati, intelektual Muslim Iran, pernah menyindir tajam fenomena ini:
“Agama itu bukan warisan, tapi pilihan. Jika kita mewarisi agama tanpa kesadaran, kita hanya mengganti berhala dari batu menjadi simbol-simbol baru yang dikultuskan.”
Pengabdian sejati adalah kesadaran yang aktif, bukan repetisi yang pasif.
Dogmatisme yang Membekukan
Ketika Islam direduksi menjadi kumpulan hukum, simbol, dan jargon yang tak boleh disentuh, maka agama berubah menjadi dogma. Dogma ini—meski dikemas dalam dalil dan “fatwa”—telah membekukan ruang berpikir umat.
Fazlur Rahman, cendekiawan Muslim dari Pakistan, mengingatkan:
“Dogmatisme adalah musuh utama dari semangat Al-Qur’an. Wahyu itu dinamis, tapi tafsir yang dogmatis menjadikannya stagnan.”
Dogma membuat Islam tampak kaku dan tidak ramah terhadap perubahan zaman. Padahal, Islam adalah agama yang responsif, progresif, dan penuh nilai sosial.
Al-Qur’an sendiri memperingatkan orang-orang yang menjadikan agama sebagai warisan tak bermakna:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ…١٧٠
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’…” (QS Al-Baqarah [2]:170)
Ayat ini bukan hanya kritik terhadap kaum musyrik, tetapi juga peringatan terhadap siapa pun yang mengganti pengabdian menjadi tradisi buta.
Simbol Tanpa Substansi
Fenomena hari ini menunjukkan bagaimana umat Islam lebih tergugah oleh simbol dan ritual daripada makna dan nilai.
Penggunaan jilbab, misalnya, lebih sering dikaitkan dengan identitas kelompok daripada ketaatan spiritual. Begitu juga shalat, seringkali dipraktikkan sebagai rutinitas tanpa keterhubungan batin.
Al-Qur’an justru menegaskan bahwa tujuan ibadah adalah pembentukan karakter dan kesadaran:
…اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِۗ… ٤٥
“Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar…” (QS Al-‘Ankabut [29]:45)
Ketika shalat tak lagi mencegah perbuatan keji, atau puasa tak menyentuh kejujuran, kita patut bertanya: apakah itu masih pengabdian, ataukah hanya ritus sosial?
Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah berkata:
“Islam bukan sekadar baju luar, tapi kesaksian batin. Bukan karena lahir di lingkungan Muslim, tapi karena sadar dan memilih untuk beriman.”
Membebaskan Diri dari Tradisi Membatu
Perlu ditegaskan bahwa tradisi tidak selalu buruk. Tetapi saat tradisi mengalahkan makna, maka ia justru menjauhkan manusia dari Allah.
Allah tidak menghendaki manusia menjadi robot ritual, tetapi makhluk yang berfikir, merdeka, dan sadar akan pilihannya.
… اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِاُولِى الْاَلْبَابِࣖ ٢١
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS Az-Zumar [39]:21)
Ayat ini mengandung pesan penting: agama tidak bisa dilepaskan dari akal sehat dan refleksi. Ketika umat berhenti berpikir, agama hanya akan menjadi fosil sosial.
Kembali ke Al-Qur’an, Bukan Hanya Seremoninya
Sudah saatnya umat Islam kembali membaca Al-Qur’an secara aktif dan reflektif, bukan sekadar ritual khataman atau acara seremonial. Spirit Islam harus dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan dibekukan dalam slogan atau simbol.
Islam bukan tradisi turun-temurun, melainkan pengabdian sadar kepada Allah. Ketika pengabdian berubah menjadi kebiasaan sosial, kita perlu bertanya: apakah yang kita jalani ini masih Islam sebagaimana diturunkan Nabi Muhammad, ataukah hanya bentuk kultural yang kehilangan ruh?
Mari kita hidupkan kembali semangat Qur’ani: beragama dengan kesadaran, bukan keterpaksaan; memilih untuk tunduk karena cinta, bukan karena tekanan budaya.
فَذَكِّرْۗ اِنَّمَآ اَنْتَ مُذَكِّرٌۙ ٢١لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍۙ ٢٢
“Maka berikanlah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah pemberi peringatan, bukanlah kamu orang yang berkuasa atas mereka.” (QS Al-Ghashiyah [88]:21-22)
Islam bukan dogma yang membekukan, tapi cahaya yang membebaskan.(emha)