Scroll untuk baca artikel
BeritaPertanian

Paradoks Pahlawan Pangan: Mengapa Petani Tetap Miskin?

126
×

Paradoks Pahlawan Pangan: Mengapa Petani Tetap Miskin?

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta– Dalam setiap krisis pangan global, kita kerap mengulang mantra lama: petani adalah pahlawan. Mereka penopang ketahanan pangan, garda terdepan penjaga perut bangsa. 

Namun di balik puja-puji itu, tersembunyi ironi yang mencolok—petani justru menjadi golongan yang paling rentan, paling miskin, dan paling terlupakan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia masih signifikan, sekitar 12,8 persen per 2024. Tapi, data itu menipu jika tak dibaca lebih dalam. 

Pendapatan rumah tangga petani cenderung stagnan, bahkan menurun dalam beberapa tahun terakhir. Banyak petani tak lagi hidup dari hasil sawah, ladang, atau kebun mereka. Alih-alih sejahtera, mereka bergulat dengan kemiskinan struktural yang menahun.

Ironi ini menggugah tanya: mengapa petani, yang memberi makan bangsa, justru hidup dalam ketidakpastian?

Masalah Struktural

Permasalahan petani Indonesia tidak semata soal cuaca buruk atau hama musiman. Akar masalahnya jauh lebih dalam: struktural, sistemik, dan politis. Luas lahan yang semakin sempit, mayoritas di bawah 0,5 hektare, membuat hasil produksi tak sebanding dengan biaya produksi. 

Di sisi lain, sistem distribusi dan tata niaga pertanian tak berpihak kepada petani.

Kartel pupuk dan benih, mafia tata niaga, serta rantai distribusi yang panjang menekan petani dari berbagai sisi. Petani membeli input produksi dengan harga tinggi, namun menjual hasil panen dengan harga rendah. 

Di tengah sistem yang timpang ini, para tengkulak, makelar, dan pengepul menikmati margin keuntungan terbesar.

Petani menjadi produsen tanpa kuasa. Mereka tidak menentukan harga, tidak memiliki akses langsung ke pasar, dan minim perlindungan dari fluktuasi. 

Bahkan kebijakan subsidi yang digembar-gemborkan kerap tidak tepat sasaran, disalurkan tanpa transparansi, atau habis di jalan sebelum sampai ke petani.

Regenerasi yang Mandek

Kemiskinan petani adalah jerat yang tak hanya merugikan satu generasi, tapi juga membunuh harapan generasi berikutnya. Anak-anak petani, melihat penderitaan orang tuanya, enggan melanjutkan profesi itu. 

Di mata mereka, menjadi petani bukan hanya tak menjanjikan secara ekonomi, tetapi juga tak bergengsi secara sosial.

Tak heran, jumlah petani muda terus menyusut. Rata-rata usia petani di Indonesia kini di atas 50 tahun. Regenerasi mandek. Jika tren ini dibiarkan, kita menghadapi bom waktu krisis pangan, bukan karena kekurangan lahan, melainkan karena kekurangan petani.

Ketahanan Pangan Butuh Keadilan

Negara tidak kekurangan program. Setiap pemerintahan datang dengan janji besar: kedaulatan pangan, swasembada beras, revolusi hijau, food estate. 

Namun terlalu banyak kebijakan hanya berhenti di atas kertas, atau bahkan terjebak dalam logika korporatisasi dan industrialisasi pertanian yang justru menggeser petani kecil dari lahan mereka.

Petani tidak butuh retorika. Mereka butuh lahan yang aman dari spekulan. Butuh akses modal tanpa jerat utang. 

Butuh pendidikan dan teknologi yang aplikatif, bukan sekadar pilot project yang tak berkelanjutan. Mereka butuh keberpihakan nyata, bukan slogan musiman menjelang panen atau pemilu.

Keadilan agraria bukan sekadar wacana romantik, tapi prasyarat ketahanan pangan. Tanpa keberpihakan terhadap petani kecil, kedaulatan pangan hanya akan menjadi jargon kosong yang dibungkus dalam pidato.

Membangun Ulang Narasi

Sudah waktunya kita menggeser narasi pembangunan. Petani bukan sekadar obyek belas kasihan atau target program sosial. Mereka adalah pelaku utama ekonomi bangsa. Memberdayakan petani bukan hanya soal pangan, tetapi soal martabat, keberlanjutan, dan kemandirian nasional.

Paradoks ini harus diakhiri. Petani tak boleh lagi menjadi pahlawan yang terluka, yang hidupnya dikorbankan demi kemakmuran orang lain. Keberhasilan bangsa tidak bisa berdiri di atas penderitaan mereka.

Saatnya petani dihargai, bukan hanya dipuji.(acank)

Example 120x600