Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Bekal untuk Daarul Akhirah: Sebuah Pertanyaan tentang Kepatuhan dan Kesadaran

8
×

Bekal untuk Daarul Akhirah: Sebuah Pertanyaan tentang Kepatuhan dan Kesadaran

Share this article

Punulis : husni fahro| Edditor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh godaan materialisme hari ini, kita sering kali terlalu sibuk menumpuk bekal dunia—karier, harta, dan popularitas—hingga melupakan perintah Allah yang lebih utama: mencari bekal untuk Daarul Akhirah

Perintah ini termaktub dengan jelas dalam firman-Nya:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا…۝٧٧

“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia…”
(QS Al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini menyimpan hikmah penting: Allah menempatkan prioritas utama pada kehidupan akhirat, sementara kehidupan dunia hanya disebut sebagai “bagian” (nasib) yang tak patut dilupakan. Dunia hanyalah jembatan—sementara akhirat adalah kampung halaman sejati.

Sebagai perintah, tentu ini menuntut kepatuhan total. Namun, lebih dari itu, ayat ini seolah ingin mengingatkan kita: apakah kita sungguh siap menanggung akibat dari tidak mematuhi perintah Allah?

 Pembangkangan bukanlah perkara sepele. Setiap perintah Ilahi selalu disertai konsekuensi, baik di dunia maupun di akhirat.

Pertanyaan reflektif semacam ini juga ditemukan dalam QS Al-Baqarah ayat 28:

كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْۚ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ۝٢٨

“Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan, lalu dihidupkan kembali, kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan?”

Ayat ini bukan sekadar pertanyaan, tapi gugatan eksistensial. Allah mengingatkan kita tentang siklus kehidupan yang tidak bisa kita hindari: kita berasal dari ketiadaan, dihidupkan oleh-Nya, kemudian akan mati lagi, dan akhirnya kembali kepada-Nya. 

Maka, mungkinkah kita mengingkari Sang Pencipta yang telah mengatur seluruh proses hidup kita sejak awal?

Prof. Dr. Quraish Shihab, dalam tafsirnya Al-Mishbah, menyatakan bahwa ayat ini hendak menggugah akal dan nurani manusia. 

“Keingkaran kepada Allah bukan hanya irasional, tetapi juga tidak etis, karena Dia yang telah memberi kehidupan dan akan mengembalikannya kepada kita dalam bentuk yang lebih sempurna atau lebih buruk tergantung amal kita,” tulisnya.

Pertanyaannya sekarang: apakah kita siap jika ternyata hidup kita lebih banyak dihabiskan untuk mengejar bekal dunia daripada bekal akhirat? 

Apakah kita siap jika ternyata kita termasuk orang-orang yang lalai terhadap panggilan Ilahi?

Bekal akhirat bukan sekadar ibadah ritual. Ia mencakup keikhlasan, amal saleh, ketulusan memberi, menjauhi kemungkaran, membela kebenaran, dan merawat keadilan. Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan,

 “Dunia adalah ladang tempat menanam, dan akhirat adalah tempat memanen. Siapa yang lalai menanam di dunia, niscaya tak akan memanen apa-apa di akhirat.”

Maka, marilah kita bertanya kepada diri sendiri: di mana fokus hidup kita? Sudahkah kita menempatkan akhirat sebagai orientasi utama? 

Dan andai kelak kita harus kembali kepada Allah hari ini, sudahkah kita membawa bekal yang cukup?

Example 120x600