Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Tasbih Al-Qur’an: Antara Lafal dan Makna

6
×

Tasbih Al-Qur’an: Antara Lafal dan Makna

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Di berbagai penjuru dunia Muslim, suara lantunan ayat-ayat Al-Qur’an menggema setiap hari—di masjid, rumah, radio, dan media sosial. 

Ada keindahan yang tak terbantahkan dalam bacaan yang tartil, mengalir lembut dengan tajwid yang sempurna. 

Namun di tengah keindahan suara itu, kita mesti bertanya secara jujur: apakah makna Al-Qur’an telah benar-benar hidup dalam hati dan kehidupan umat Islam, ataukah ia hanya sebatas gema di bibir dan telinga?

Tasbih Al-Qur’an—yakni memuliakan dan mengagungkan Kitab Suci—harusnya melampaui sekadar bacaan lafziyah. Ia menuntut keterlibatan akal, penghayatan spiritual, dan transformasi perilaku. 

Sayangnya, dalam banyak kasus, pengagungan itu justru terbatas pada bacaan tanpa pemahaman, hafalan tanpa tafakur, dan rutinitas tanpa refleksi.

Budaya Lafal, Ketika Pahala Dikejar, Makna Ditinggalkan

Banyak umat Islam yang merasa telah memenuhi kewajiban terhadap Al-Qur’an hanya dengan membacanya secara rutin. 

Mereka percaya bahwa setiap huruf yang dilafalkan akan mendatangkan pahala, sebagaimana hadis populer dari Rasulullah ﷺ:

“Barang siapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh. Aku tidak mengatakan ‘Alif Lam Mim’ itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.”
(HR. Tirmidzi)

Namun, apakah pahala itu cukup jika makna-maknanya tidak kita pahami? Apakah Allah hanya menurunkan Al-Qur’an untuk dilagukan, bukan untuk diikuti?

Al-Qur’an sendiri mengingatkan:

كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ ۝٢٩

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal mendapatkan pelajaran.”  (QS. Shad: 29)

Kritik Para Cendekiawan: Agama yang Dibacakan, Bukan Dihidupkan

Sejumlah tokoh pemikir Muslim kontemporer menyoroti fenomena ini. Prof. Quraish Shihab, dalam tafsir Al-Misbah, menekankan bahwa “membaca Al-Qur’an dengan suara merdu memang dianjurkan, tetapi yang paling utama adalah pemahaman dan pengamalan terhadap pesan-pesan yang dikandungnya.

Ia mengingatkan bahwa banyak kesesatan muncul bukan karena kurangnya bacaan, tetapi karena minimnya pemahaman.

Senada, Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam berbagai tulisan dan ceramahnya menyampaikan bahwa “agama bukan sekadar simbol atau bentuk luar, tetapi substansi dan nilai-nilai yang harus dihidupkan dalam masyarakat. Tanpa itu, agama menjadi kulit tanpa isi.”

Apa gunanya Al-Qur’an dibaca khatam berkali-kali jika tidak menjadi kompas moral dalam kehidupan kita? Bukankah Allah berfirman:

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا ۝٢٤

“Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an? Atau apakah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Lafal dan Makna: Dua Sayap yang Harus Terbang Bersama

Kita tidak perlu memisahkan antara bacaan (lafal) dan pemahaman (makna). Justru keduanya harus berjalan beriringan. Membaca dengan tartil adalah bentuk penghormatan, namun memahami dengan akal dan hati adalah bentuk ketaatan yang sejati.

Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin, menyebut bahwa tingkat tertinggi dalam membaca Al-Qur’an adalah ketika seseorang merasa bahwa setiap ayat yang dibacanya sedang Allah tujukan langsung kepadanya. 

Inilah bentuk interaksi ruhani yang sejati, yang hanya bisa dicapai jika kita tidak hanya mengeja huruf, tetapi juga merenungkan maknanya.

Tantangan Umat Hari Ini: Literasi Qur’ani yang Lemah

Menurut data dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (2022), lebih dari 65% umat Islam Indonesia belum pernah menamatkan membaca terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, hanya sekitar 8% yang rutin membaca tafsir atau kajian tematik Al-Qur’an.

Fenomena ini memperlihatkan jurang yang cukup lebar antara kecintaan pada Al-Qur’an secara budaya dengan keterikatan pada isinya secara intelektual dan spiritual. Tak heran bila banyak yang mudah terjebak pada ekstremisme, taklid buta, atau sekadar ritualisme kering yang tak mengubah akhlak.

Menemukan Kembali Tasbih yang Sejati

Tasbih Al-Qur’an sejati adalah ketika hati bergetar bukan karena keindahan suara, tetapi karena kekuatan pesan. Ia terjadi ketika ayat-ayat menggerakkan kita untuk berlaku adil, berkata jujur, menolong sesama, dan menjaga lingkungan. 

Ketika ayat tentang tauhid membebaskan kita dari penyembahan kepada manusia dan materi. Ketika ayat tentang akhirat mengingatkan bahwa kehidupan ini hanya persinggahan.

Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتٰبَ اللّٰهِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً يَّرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَۙ ۝٢٩

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan melaksanakan shalat serta menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan secara sembunyi atau terang-terangan, mereka mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi.”  (QS. Fatir: 29)

Penutup

Sudah saatnya kita meninjau ulang hubungan kita dengan Al-Qur’an. Membaca adalah langkah awal, namun memahami dan mengamalkan adalah inti dari ketundukan sejati. Dalam tasbih yang sesungguhnya, lisan, akal, dan hati bersatu untuk menghidupkan Al-Qur’an dalam hidup.

Jangan biarkan Al-Qur’an hanya menjadi suara merdu yang tak membekas. Jadikan ia cahaya yang menerangi langkah kita—di rumah, di jalan, di ruang kerja, di pasar, di parlemen, dan di hati.

وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَاۗ مَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتٰبُ وَلَا الْاِيْمَانُ وَلٰكِنْ جَعَلْنٰهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهٖ مَنْ نَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِنَاۗ … ۝٥٢

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Ruh (Al-Qur’an) dari perintah Kami. Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah Al-Kitab itu dan tidak pula iman itu, tetapi Kami menjadikannya cahaya, yang dengan itu Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.”
(QS. Asy-Syura: 52)- (emha)

Example 120x600