ppmindonesia.com.Jakarta – Di dalam diri manusia terdapat dua kekuatan besar yang saling tarik-menarik: kehendak (kemauan) dan kemampuan (kesanggupan). Keduanya menjadi fondasi dari setiap tindakan kita.
Namun dalam kenyataannya, banyak orang yang mengaku mau mengikuti petunjuk Allah, tetapi gagal dalam mengamalkannya. Mengapa bisa begitu? Bukankah Allah telah menjamin bahwa agama ini tidak memberatkan?
…هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ … ٧٨
“Dan Dia tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama.” (QS Al-Hajj: 78)
Kegagalan mengikuti petunjuk Allah bukan karena perintah-Nya mustahil dilaksanakan, melainkan karena hati manusia masih dipenuhi keinginan yang bertentangan dengan kehendak-Nya.
Dalam istilah sufistik, kita seringkali gagal bukan karena tidak tahu, melainkan karena tidak mau benar-benar melepaskan kehendak ego.
Petunjuk Sudah Jelas, Teladan Sudah Nyata
Islam tidak datang dengan perintah-perintah abstrak. Setiap ajarannya dibarengi dengan penjelasan, dan bahkan ditampilkan dalam kehidupan nyata Rasulullah ﷺ sebagai teladan hidup.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ … ٢١
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu.” (QS Al-Ahzab: 21)
Namun tetap saja, banyak dari kita yang tidak berjalan di atasnya. Kita tahu shalat itu wajib, tapi lalai. Kita tahu zakat itu hak orang lain, tapi enggan mengeluarkan.
Kita tahu jujur itu kunci surga, tapi tetap berdalih dan berbohong.
Prof. Dr. M. Amin Abdullah, guru besar pemikiran Islam UIN Yogyakarta, menjelaskan bahwa:
“Tantangan terbesar dalam beragama bukanlah memahami perintah, melainkan menyatukan kehendak pribadi dengan nilai-nilai yang diperintahkan agama.”
Artinya, selama ego masih dominan, selama keinginan pribadi tidak didewasakan oleh kehendak Ilahi, maka petunjuk akan tetap tampak asing, walau ia telah dekat.
QS Al-Insan dan QS At-Takwir: Tentang Kehendak yang Menyerah
Dalam QS Al-Insan: 29-30 dan QS At-Takwir: 27-29, Allah menjelaskan bahwa hanya orang-orang tertentu yang mampu menempuh jalan lurus—karena mereka tidak memiliki kehendak kecuali yang telah dikehendaki oleh Allah.
وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُۗ … ٣٠
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila Allah menghendakinya.” (QS Al-Insan: 30)
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir menjelaskan, ayat ini tidak meniadakan usaha manusia, tapi menyadarkan kita bahwa keberhasilan dalam ketaatan hanya terjadi jika kehendak kita berpadu dengan kehendak Allah.
Maka penting bagi seorang mukmin untuk senantiasa membersihkan niat dan mengoreksi tujuan hidupnya: Apakah aku ingin ini karena Allah, atau karena diriku sendiri?
Dari Tahu Menjadi Mau, dan dari Mau Menjadi Mampu
Kita tidak bisa mengklaim diri sebagai hamba Allah hanya dengan pengetahuan, tapi dengan tindakan yang menyatu dengan kehendak-Nya.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis:
“Ilmu yang tidak diikuti dengan amal adalah hujjah yang memperberat di hari kiamat. Sedangkan amal tanpa niat yang lurus adalah sia-sia.”
Maka, prosesnya bukan sekadar dari tahu menjadi mampu, tetapi dari tahu → mau → lalu mampu.
“Mau” adalah titik paling krusial. Mau berarti menyerahkan ego. Mau berarti membuka diri untuk dibimbing oleh petunjuk Allah.
Namun, manusia modern seringkali terlalu percaya diri dengan kemampuan dan logikanya, sampai lupa bahwa kunci segala kekuatan justru ada dalam kerendahan hati.
Maka tak heran, kegagalan mengikuti petunjuk sering kali bermula dari tidak adanya kerendahan diri di hadapan Tuhan.
Jalan Menuju Selaras
Akhirnya, pertanyaan penting yang patut direnungkan bukanlah “mengapa saya belum mampu?” tetapi “apakah saya sungguh-sungguh mau?”
Karena ketika kehendak kita menyatu dengan kehendak Allah, Dia sendiri yang akan membukakan kemampuan dan jalan keluar.
…وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًاۙ ٢…وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ…٣
“…Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar. …. dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS Ath-Thalaq: 2–3)
Di dunia yang penuh ambisi dan godaan ini, kita semua sedang belajar untuk mengikis kehendak diri yang egoistik, agar kehendak Allah dapat hidup dalam diri kita. Karena hanya ketika kita mau untuk sepenuhnya mengikuti petunjuk-Nya, maka kita akan mampu.(husni fahro)