Scroll untuk baca artikel
BeritaInternasional

Siapa Melawan Siapa? Membongkar Labirin Kepentingan di Balik Perang Iran-Israel

2
×

Siapa Melawan Siapa? Membongkar Labirin Kepentingan di Balik Perang Iran-Israel

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta – Kawasan Timur Tengah kembali memanas. Rudal-rudal melesat dari langit Teheran ke arah Israel, dan sebaliknya, serangan udara Israel menghantam target-target strategis di wilayah Iran. 

Namun, ini bukan sekadar konflik dua negara. Di balik ledakan dan kepulan asap, perang ini menyimpan cerita yang jauh lebih kompleks—tentang ideologi, sejarah dendam, hegemoni kawasan, dan yang paling ironis: siapa sebenarnya sedang melawan siapa?

Dunia menyaksikan eskalasi besar-besaran antara dua kekuatan regional: Iran dan Israel. Kedua negara ini secara historis pernah menjadi sekutu dekat hingga Revolusi Islam Iran 1979 mengubah arah politik kawasan secara drastis. 

Sejak saat itu, Teheran yang bertransformasi menjadi republik Islam menolak keberadaan Israel dan secara terbuka mendukung kelompok-kelompok yang dianggap “perlawanan”, seperti Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon. Israel merespons dengan langkah-langkah konfrontatif, mulai dari serangan udara, sabotase siber, hingga pembunuhan ilmuwan nuklir.

Namun, seperti diungkap oleh analis Timur Tengah, Bassam Al Sulaeiman, perang ini bukan lagi sekadar pertarungan dua negara. Ini adalah perang “melalui perpanjangan tangan”, sebuah konflik multilapis yang melibatkan banyak pemain—baik langsung maupun tak langsung. 

Dari Amerika Serikat hingga Rusia, dari Arab Saudi hingga Suriah, dari perusahaan senjata hingga badan intelijen internasional—semua punya peran, semua punya kepentingan.

Narasi Kecurigaan dan Dalih Keamanan

Israel berdalih bahwa serangannya merupakan langkah preventif untuk menggagalkan ambisi nuklir Iran. Pernyataan itu diperkuat oleh laporan International Atomic Energy Agency (IAEA) yang menyebut adanya indikasi pelanggaran oleh Iran terhadap Non-Proliferation Treaty (NPT). 

Namun, hingga kini, bukti tegas belum dipublikasikan, dan sebagian pengamat menilai klaim Israel lebih bersifat politis daripada faktual.

Sebaliknya, Iran mengklaim bahwa perlawanan mereka adalah bentuk pembelaan terhadap rakyat Palestina dan solidaritas terhadap dunia Islam. Di permukaan, retorika ini terdengar heroik. 

Namun di baliknya, ada motif-motif geopolitik yang tak kalah kuat: Iran ingin menjadi aktor utama di kawasan, menyaingi pengaruh Arab Saudi dan Turki, serta memperkuat poros “perlawanan” dari Lebanon hingga Yaman.

Konflik ini memperlihatkan betapa kaburnya batas antara ideologi dan kepentingan. Di satu sisi, kita mendengar seruan keadilan untuk Palestina. Di sisi lain, kita menyaksikan operasi militer yang memicu krisis kemanusiaan lebih luas. 

Dalam realitas hari ini, dalih “pembelaan” bisa berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan, dan “keamanan nasional” bisa menjadi tameng untuk ekspansi kekuatan.

Palestina: Nama yang Terus Digunakan, Tapi Tak Pernah Dibelanya

Yang paling ironis, justru rakyat Palestina—yang namanya kerap dikibarkan dalam setiap propaganda perang—menjadi korban paling abadi. 

Sejak meletusnya konflik antara Hamas dan Israel di Gaza pada 2023, ribuan warga sipil kehilangan nyawa, rumah-rumah luluh lantak, dan blokade ekonomi semakin mencekik. Namun dalam pertarungan besar antara Iran dan Israel, penderitaan mereka seolah menjadi latar belakang yang diabaikan.

Bagi Israel, Palestina adalah “ancaman demografis dan keamanan”. Bagi Iran, Palestina adalah “simbol perlawanan”. 

Namun keduanya, secara tragis, memperlakukan rakyat Palestina lebih sebagai alat dalam permainan catur kekuasaan regional ketimbang sebagai manusia yang layak dihormati hak-haknya.

Pesan ini sesungguhnya telah diingatkan oleh Al-Qur’an dalam Surat Al-Ma’idah ayat 8:

…وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ…۝٨

 “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”

Ayat ini menjadi pengingat bahwa dalam setiap konflik, keadilan dan kemanusiaan seharusnya menjadi standar moral utama—bukan kepentingan mazhab, bukan ambisi kekuasaan.

Sunyi Dunia Arab dan Retaknya Solidaritas Islam

Satu aspek yang tak bisa diabaikan dari perang ini adalah respons dingin dari sebagian besar negara Arab. Uni Emirat Arab dan Bahrain justru sibuk merayakan hubungan baru dengan Israel melalui Abraham Accords. 

Arab Saudi bermain hati-hati, menjaga hubungan dengan Barat sembari meredam pengaruh Iran. Sementara Suriah—yang selama bertahun-tahun menjadi medan tempur proxy kedua negara—memilih diam.

“Damaskus sedang memulihkan diri. Mereka muak dengan perang,” ujar Jirudi, seorang dokter bedah di Damaskus yang menyaksikan rudal beterbangan di langit negaranya. Warga Suriah, setelah belasan tahun dihantam perang saudara, tidak lagi tertarik menjadi pion dalam konflik negara lain.

Ketidakpedulian ini mencerminkan realitas politik Muslim hari ini: solidaritas telah retak, dan semangat ukhuwah hanya hidup dalam pidato, bukan dalam kebijakan. 

Dunia Islam terpecah bukan hanya oleh mazhab, tetapi oleh kalkulasi ekonomi, ketergantungan militer, dan kepentingan elit yang tak selalu sejalan dengan aspirasi rakyatnya.

Kembali ke Akar: Islam yang Memuliakan Kemanusiaan

Perang Iran-Israel adalah cermin yang memperlihatkan betapa jauh umat ini tersesat dalam labirin kepentingan. Ketika konflik dinarasikan sebagai jihad, ketika mazhab dijadikan garis batas kebenaran, dan ketika Palestina hanya menjadi simbol retorika—maka saatnya kita bertanya kembali: Islam siapa yang kita anut?

Allah telah mengingatkan dalam QS Al-An’am ayat 159:

اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ … ۝١٥٩

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-mecah agama mereka dan menjadi golongan-golongan, engkau (Muhammad) bukanlah bagian dari mereka.”

Islam bukanlah milik Syiah atau Sunni. Bukan milik Iran atau Arab. Ia adalah ajaran universal yang menolak fanatisme buta dan menolak kekerasan yang menindas.

Saatnya umat Islam kembali menata barisan—bukan dengan panji golongan atau bendera negara—tetapi dengan nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap kemanusiaan. 

Karena dalam perang yang melibatkan banyak pihak dan banyak dalih ini, pertanyaannya bukan lagi siapa menang dan siapa kalah. Tapi siapa yang masih bersuara untuk mereka yang tertindas—tanpa pamrih, tanpa agenda tersembunyi.(acank)

Example 120x600