ppmindonesia.com.Jakarta – Ketika langit Timur Tengah kembali gelap oleh lintasan rudal dan sirene peringatan menggema dari Teheran hingga Tel Aviv, satu kota kecil di jazirah Arab mendadak menjadi pusat gravitasi diplomasi global: Doha.
Qatar, negara mungil yang luasnya hanya sepertiga Pulau Jawa, mendapati dirinya berada dalam pusaran konflik geopolitik paling eksplosif antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat. Ironisnya, di saat rudal Iran menghantam Pangkalan Udara Al Udeid—markas terbesar militer Amerika Serikat di Timur Tengah yang terletak di wilayahnya sendiri—Qatar justru tampil sebagai penjembatan perdamaian.
Apakah Doha sekadar perantara atau sesungguhnya telah menjadi pilar baru diplomasi Timur Tengah?
Kota Kecil, Tugas Besar
Konflik dimulai pada 13 Juni 2025, ketika Israel meluncurkan Operasi Rising Lion terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran. Iran membalas dengan True Promise 3, serangan balistik dan drone yang menargetkan instalasi strategis Israel.
Amerika Serikat ikut masuk gelanggang lewat Operasi Midnight Hammer, menghantam situs nuklir Iran. Balasan Iran kemudian menyasar pangkalan AS di Irak dan Qatar.
Namun justru saat rudal Iran menargetkan tanahnya, Qatar tidak bereaksi dengan kemarahan, melainkan dengan inisiatif diplomasi. Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, segera menghubungi pejabat tinggi Iran.
Dalam waktu kurang dari 24 jam, gencatan senjata disepakati: Iran menghentikan serangan terlebih dahulu, disusul Israel 12 jam kemudian.
Presiden AS Donald Trump menyebut peran Qatar sebagai “sangat menentukan”, dan bahkan mengakui, “Tanpa Qatar, tidak akan ada gencatan senjata ini.”
Diplomasi di Tengah Ancaman
Namun pertanyaan besar tetap mengemuka: Bagaimana Qatar dapat menengahi perdamaian ketika wilayahnya sendiri diserang oleh Iran, sekutu informalnya, dan menampung pangkalan militer AS, sekutu resminya?
Prof. Vali Nasr, pakar hubungan internasional dari Johns Hopkins University, menyebut posisi Qatar sebagai “unik sekaligus berbahaya.”
> “Qatar bukan sekadar mediator. Ia adalah negara yang sedang bertaruh besar. Dengan menjaga hubungan baik dengan Teheran dan Washington, Doha menempatkan dirinya di zona abu-abu yang sangat rentan. Tapi justru di sanalah kekuatan diplomasi Qatar terbentuk: sebagai satu-satunya pemain yang bisa berbicara dengan semua pihak tanpa beban ideologis,” jelas Nasr dalam wawancara dengan Foreign Policy.
Qatar telah lama membangun reputasinya sebagai aktor netral nan efektif. Dari proses damai Afghanistan hingga gencatan senjata Gaza, Doha selalu hadir sebagai negosiator senyap. Namun kali ini, situasinya lebih pelik. Doha menengahi perang yang meledak di atas kepalanya sendiri.
Dilema Dua Meja: Diplomasi dan Keamanan
Pangkalan Al Udeid bukan sekadar fasilitas militer. Ia adalah simbol kehadiran Amerika di kawasan. Ketika rudal Iran menghantam kawasan itu, Qatar bisa saja mengambil posisi defensif dan mengutuk Iran. Tapi itu tidak dilakukan. Sebaliknya, Doha memilih menjaga jalur komunikasi tetap terbuka.
Analis geopolitik asal Prancis, Dominique Moïsi, menggambarkan pilihan ini sebagai “diplomasi berbasis ketahanan.”
> “Qatar memahami bahwa menanggapi serangan dengan reaksi emosional bisa menghancurkan seluruh posisi strategisnya. Ia memilih jalan sulit: berdiri di antara dua api, menahan panasnya, dan tetap bicara,” kata Moïsi dalam kolomnya di Le Monde.
Namun ini bukan tanpa risiko. Qatar bisa saja dianggap lemah oleh sekutunya, atau dijadikan kambing hitam jika gencatan senjata gagal. Tapi sejarah menunjukkan, Doha lebih suka memainkan peran di balik layar daripada berdiri di garis depan opini publik.
Antara Rudal dan Harapan
Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, dalam panggilan telepon dengan Perdana Menteri Malaysia, menegaskan bahwa serangan ke pangkalan AS di Qatar bukan serangan terhadap negara Qatar.
“Kami menghormati pemerintah dan rakyat Qatar sebagai saudara,” ujarnya. Ini menjadi sinyal penting bahwa Doha masih dianggap sebagai mitra yang bisa dipercaya, bahkan oleh Teheran.
Sementara itu, di Israel dan AS, suara skeptis mulai bermunculan. Beberapa pengamat menyebut gencatan senjata ini sebagai “solusi jangka pendek”. Mereka mempertanyakan apakah Doha mampu menahan kedua belah pihak untuk tidak kembali ke jalur kekerasan.
Namun di tengah kegaduhan dunia, keberhasilan gencatan senjata ini tetap menjadi oasis kecil di tengah padang pasir konflik.
Sebuah Peran Baru?
Doha, kota yang dulunya hanya dikenal sebagai pusat transit penerbangan dan tuan rumah Piala Dunia, kini menjelma menjadi aktor utama dalam peta diplomasi global. Ia menunjukkan bahwa di tengah dunia yang terpecah oleh aliansi dan dendam lama, diplomasi bisa tetap dijalankan—meski dengan rudal yang terbang di atas kepala.
Dan mungkin, itu adalah pesan paling kuat dari Qatar kepada dunia: bahwa kekuatan sejati bukan hanya ada di tangan yang memegang senjata, tetapi juga pada mereka yang mampu menjaga dialog tetap hidup, bahkan di tengah puing-puing perang.(acank)
 













 
							

 












