Scroll untuk baca artikel
BeritaInternasional

Operasi Rising Lion dan True Promise 3: Strategi, Serangan, dan Simbolisme

139
×

Operasi Rising Lion dan True Promise 3: Strategi, Serangan, dan Simbolisme

Share this article

Penulis : acank| Editor : asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam waktu dua belas hari yang menegangkan, kawasan Timur Tengah berada di ambang perang besar. Ledakan rudal, dentuman drone, dan percakapan diplomatik lintas benua menjadi babak terbaru dari perseteruan panjang antara Iran dan Israel.

Namun, di balik kabut asap dan manuver militer, dua nama operasi muncul sebagai simbol dari konflik: Rising Lion milik Israel, dan True Promise 3 dari Iran. Keduanya bukan sekadar nama kode militer, melainkan narasi yang mencerminkan cara dua negara memaknai ancaman, kekuatan, dan identitas diri.

Strategi di Balik Nama

Operasi Rising Lion diluncurkan Israel pada 13 Juni, dengan tujuan menghancurkan fasilitas nuklir dan militer Iran. Nama “Singa yang Bangkit” bukanlah pilihan acak.

Dalam konteks simbolik Israel, singa melambangkan kekuatan, kejayaan, dan keberanian, mengacu pada ikon “Singa Yehuda” yang telah lama menjadi metafora kekuatan zionisme. Dengan operasi ini, Israel ingin mengirim pesan tegas: bahwa ia masih pemegang kendali superioritas udara di kawasan, bahkan terhadap Iran.

Sebagai balasan, Iran meluncurkan True Promise 3. Ini bukan hanya pembalasan militer; ini adalah kelanjutan dari narasi perlawanan. Kata “True Promise” mengacu pada janji suci revolusi Islam Iran: tidak tunduk pada hegemoni, dan merespons setiap agresi dengan kekuatan setimpal.

Dengan tambahan angka “3”, Iran menegaskan bahwa ini adalah episode lanjutan dari siklus resistensi yang telah berulang, dan bukan akhir dari perjuangan.

Namun lebih dari sekadar saling serang, dua operasi ini menunjukkan perubahan dalam pola perang modern Timur Tengah. Drone, rudal jarak jauh, dan sistem pertahanan siber kini lebih dominan daripada tank dan infanteri. Konflik bukan lagi hanya soal medan perang fisik, tapi juga bagaimana narasi dibentuk dan disebarluaskan ke dunia.

Perang atau Pertunjukan Kekuatan?

Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik ini, melalui Operasi Midnight Hammer, memperkuat dugaan banyak pihak bahwa ini bukan sekadar eskalasi spontan, melainkan pertarungan simbolis dalam lanskap global yang lebih luas.

AS menghantam tiga situs nuklir Iran, tindakan yang oleh Presiden Iran Masoud Pezeshkian disebut sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Balasan Iran? Serangan rudal ke pangkalan AS di Irak dan Qatar, termasuk markas besar militer AS di Al Udeid.

“Perang ini adalah panggung besar. Para aktornya mungkin tampak berbeda, tapi sutradaranya tetap: kepentingan strategis,” ujar koresponden perang veteran Elijah J. Magnier dalam wawancara dengan Sputnik.

Ia menuduh Presiden AS Donald Trump sebagai pihak yang “memulai perang secara tidak langsung, lalu tampil sebagai pahlawan damai.” Kritik tajam ini menggambarkan betapa rumitnya jalinan politik, militer, dan diplomasi dalam konflik ini.

Simbolisme dan Persepsi Publik

Setiap misil yang ditembakkan tidak hanya menargetkan instalasi musuh, tetapi juga opini publik. Di tengah kebisingan ledakan, propaganda menjadi senjata yang tak kalah mematikan.

Israel menampilkan diri sebagai korban potensi nuklir Iran, sementara Teheran menunjukkan dirinya sebagai bangsa yang diserang namun tetap berdiri.

Gencatan senjata yang dimediasi Qatar memperlihatkan bahwa kekuatan militer bukanlah satu-satunya jalan keluar. Dalam krisis, terkadang diplomasi senyap—seperti yang dilakukan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani dan Perdana Menteri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani—lebih menentukan nasib ribuan nyawa daripada serangan rudal paling canggih.

Namun, seperti dikatakan oleh Magnier, ini belum tentu akhir dari konflik. “Apakah bab ini dimulai lagi dengan rentetan rudal atau uji coba nuklir, atau Iran membuat bom nuklir, semuanya bergantung pada masa depan,” ujarnya.

Apa yang Kita Pelajari?

Konflik ini mengajarkan kita satu hal penting: simbolisme bisa sama berbahayanya dengan misil. Nama operasi, narasi diplomatik, hingga gestur politik, semuanya memainkan peran dalam memperpanjang atau mengakhiri peperangan. Di dunia yang terpolarisasi oleh propaganda dan kepentingan, kebenaran seringkali menjadi korban pertama.

Kini, saat asap mulai mereda dan rudal berhenti meluncur, pertanyaan terbesar tetap menggantung: apakah ini akhir dari permusuhan atau sekadar jeda sebelum babak baru dimulai? (acank)

Example 120x600