Scroll untuk baca artikel
BeritaInternasional

Trump, Perang, dan Panggung Perdamaian: Siapa Sebenarnya Sutradaranya?

144
×

Trump, Perang, dan Panggung Perdamaian: Siapa Sebenarnya Sutradaranya?

Share this article

Penulis : acank| Editor : asyary

ppmindonesia.com.Jakarta- Sebuah babak baru Timur Tengah sempat dimulai dengan dentuman rudal dan gemuruh bom. Namun tiba-tiba, panggung itu berubah menjadi arena diplomasi dengan aktor utama yang tak terduga tampil di atasnya: Donald J. Trump.

Presiden Amerika Serikat itu, dengan gestur percaya diri yang khas, mengumumkan gencatan senjata antara dua musuh bebuyutan, Iran dan Israel, yang telah terlibat dalam perang terbuka selama dua belas hari terakhir. Ia menyebut langkah itu sebagai kemenangan diplomasi, dan memuji Qatar sebagai pahlawan sejati.

Namun di balik klaim perdamaian, pertanyaan besar menggantung: siapa sebenarnya yang menyutradarai semua ini? Apakah Trump benar-benar juru damai, atau justru salah satu arsitek utama dari konflik yang nyaris menjerumuskan kawasan ke jurang perang besar?

Antara Perang dan Perdamaian

Konflik dimulai pada 13 Juni 2025, saat Israel meluncurkan Operasi Rising Lion yang menargetkan fasilitas nuklir Iran. Iran, tak tinggal diam, membalas lewat Operasi True Promise 3, menghantam instalasi udara dan energi strategis Israel.

Ketika situasi makin panas, Amerika Serikat masuk langsung ke arena dengan Operasi Midnight Hammer, menyerang tiga lokasi nuklir Iran. Rudal pun terbang ke pangkalan AS di Irak dan Qatar.

Di tengah kekacauan ini, Trump tampil sebagai mediator. Ia menelepon Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, meminta bantuan menjembatani komunikasi dengan Teheran. Doha bergerak cepat. Dalam waktu singkat, gencatan senjata diumumkan. “Tanpa Qatar, tidak akan ada gencatan senjata ini,” ujar Trump dalam wawancara dengan NBC News, seolah memosisikan dirinya sebagai dalang perdamaian.

Namun narasi ini dengan cepat ditantang.

Kritik dari Lapangan

Elijah J. Magnier, koresponden perang senior yang telah puluhan tahun meliput konflik Timur Tengah, dengan tegas menyebut bahwa Trump bukan penyelamat, melainkan bagian dari konflik itu sendiri.

“Trump adalah orang pertama yang menggunakan tipu muslihat terhadap Iran, lalu memberikan lampu hijau kepada Netanyahu untuk memulai perang,” kata Magnier dalam wawancara dengan Sputnik.

Ia menilai tindakan Trump bukan upaya mendamaikan, melainkan bagian dari skenario yang lebih besar untuk menekan Iran melalui jalur militer dan diplomatik sekaligus.

Dalam pandangan ini, Trump seperti pemain ganda: satu tangan menyalakan api, tangan lainnya membawa air. Sebuah paradoks diplomasi modern, di mana kekuasaan kerap berkamuflase sebagai ketulusan.

Amerika Serikat dan Pengaruh Terhadap Israel

Selama ini, hubungan Washington–Tel Aviv begitu erat. Bahkan dalam banyak kasus, Israel sering merasa lebih berani bertindak justru karena merasa mendapat “perlindungan penuh” dari Gedung Putih. Ini menjelaskan mengapa Israel memulai serangan ke Iran di tengah proses negosiasi tidak langsung antara Teheran dan Washington.

Namun seperti dikatakan Magnier, “Israel bisa memulai perang sendiri, tapi tidak bisa mengakhirinya tanpa Amerika.” Bahkan terhadap kelompok non-negara seperti Hamas atau Hizbullah, Israel tetap membutuhkan payung politik dan militer dari AS. Maka, jika Trump kini tampil sebagai juru damai, itu lebih merupakan koreografi politik daripada misi mulia.

Diplomasi atau Panggung Teater?

Gencatan senjata yang diumumkan bukan hanya mengakhiri serangan, tetapi juga mengangkat nama Trump dalam waktu yang strategis. Di dalam negeri, Trump tengah menghadapi kritik tajam soal kebijakan luar negeri dan kampanye pemilu yang mendekat. Perdamaian Timur Tengah — atau minimal kesannya — bisa menjadi alat kampanye yang kuat.

Qatar, tentu saja, memainkan peran nyata. Dengan hubungan yang relatif terbuka baik ke Teheran maupun Washington, Doha mampu menjadi penghubung krusial yang selama ini tak dimiliki siapa pun.

Tapi pengakuan terhadap peran Qatar dalam konteks ini pun tak lepas dari kemungkinan kalkulasi politik Trump: bahwa menyebut pahlawan lain justru bisa memperkuat citranya sebagai pemimpin global yang membentuk aliansi efektif.

Siapa Menulis Skenarionya?

Jika ini adalah panggung besar geopolitik, maka pertanyaannya bukan hanya siapa aktor utamanya, tetapi siapa penulis naskahnya. Apakah konflik ini adalah hasil kalkulasi strategis yang sudah dirancang sebelumnya? Atau hanya reaksi berantai dari provokasi yang terlalu cepat meledak?

Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyebut bahwa serangan Israel merupakan bagian dari upaya menggoyang stabilitas dalam negeri Iran dengan harapan rakyat akan bangkit melawan pemerintah.

Namun, ia menegaskan bahwa “meskipun ada masalah internal, rakyat Iran tetap bersatu melawan agresi musuh.” Pernyataannya menyiratkan bahwa Iran tidak melihat gencatan senjata sebagai kekalahan, tapi sebagai jeda untuk mengatur ulang posisi.

Dan begitulah, meskipun pertempuran mereda, konflik tidak sepenuhnya berakhir. Simbolisme operasi militer, kerumitan diplomasi regional, dan kepentingan global masih menjadi arus bawah yang mengancam akan kembali membuncah kapan saja.

Akhir Sandiwara?

Seperti panggung teater, pertunjukan ini bisa saja telah selesai untuk saat ini. Tirai ditutup, lampu dipadamkan. Namun penonton—dunia internasional—masih bertanya-tanya: apakah ini akhir cerita, atau hanya transisi menuju babak berikutnya?

Trump mungkin telah merebut panggung untuk sementara, tapi dalam dunia yang penuh intrik dan propaganda, perdamaian sejati belum tentu ditulis oleh mereka yang paling keras menyuarakannya.(acank)

 

Example 120x600