ppmindonesia.com.Jakarta– Di tengah riuhnya kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, agama seringkali tampil bukan sebagai penyejuk hati, tetapi terasa sebagai beban tambahan.
Banyak orang yang merasa tercekik dengan tuntutan agama, bahkan ada yang diam-diam menjauh dari ritual ibadah bukan karena tidak percaya, tetapi karena merasa lelah.
Namun benarkah agama—terutama Islam—itu berat dan menyulitkan?
Jawabannya jelas ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan sabda Nabi Muhammad ﷺ. Islam hadir bukan untuk memberatkan, tetapi sebagai jalan yang memudahkan dan membebaskan manusia dari tekanan-tekanan yang dibuat oleh ego, nafsu, dan ketidaktahuan.
هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ…٧٨
“Dan Dia (Allah) tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama (QS Al-Hajj: 78)
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama melainkan ia akan dikalahkan oleh agama itu sendiri.” (HR Bukhari)
Lalu jika agama itu mudah, mengapa kita sendiri yang membuatnya terasa sulit?
Memahami Esensi, Bukan Sekadar Ritus
Banyak kesulitan beragama timbul karena umat lebih fokus pada ritual daripada makna. Kita sibuk pada “bagaimana cara” melaksanakan ibadah, tetapi lupa untuk memahami “mengapa” dan “untuk siapa” ibadah itu dilakukan.
Dr. M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an menjelaskan bahwa:
“Islam tidak hanya mengajarkan ibadah dalam bentuk fisik, tetapi juga menanamkan nilai. Bila seseorang hanya melakukan ibadah sebagai rutinitas teknis, tanpa menghadirkan kesadaran hati, maka ia akan merasa letih dan hampa.”
Islam bukan sistem robotik. Ia adalah ajaran yang selaras dengan fitrah manusia, penuh keringanan (rukhshah), dan senantiasa mempertimbangkan kondisi individu.
Dalam Islam, bahkan shalat sekalipun bisa diubah bentuknya bila seseorang sakit atau dalam perjalanan. Jika puasa membahayakan kesehatan, maka ada keringanan untuk tidak berpuasa. Inilah bukti nyata bahwa Islam bukan ajaran yang kaku.
Ketika Ego Lebih Kuat dari Kesadaran
Agama terasa berat bukan karena syariatnya, melainkan karena nafsu kita yang tidak terkendali. Banyak orang ingin tetap bebas menurut keinginan, tetapi juga ingin merasa religius.
Maka wajar bila ketika nilai-nilai agama mulai mengoreksi gaya hidup, muncul perasaan tertekan dan menghindar.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis:
“Yang menjauhkan manusia dari agama bukan karena agama itu berat, tetapi karena hati mereka sudah berat untuk menerima kebenaran.”
Artinya, beban itu bukan pada agama, tapi pada hati—yang telah penuh dengan cinta dunia, keinginan berlebihan, dan keengganan untuk tunduk. Maka selama hati belum dibersihkan, ajaran agama akan terus tampak sulit.
Kehidupan Beragama yang Diperumit Sendiri
Ironisnya, kesulitan juga muncul dari cara sebagian umat memahami dan menyampaikan agama. Tak sedikit orang yang membuat agama seolah hanya milik segelintir orang suci, dengan standar ketat, tanpa toleransi.
Agama kemudian tampil sebagai “penghakiman”, bukan sebagai “pelukan”.
Dr. Haidar Bagir, cendekiawan Muslim dan pendiri Gerakan Islam Cinta, pernah mengatakan:
“Seringkali bukan agama yang membuat manusia takut, tapi tafsir keagamaan yang kaku dan menakut-nakuti. Padahal, Islam datang untuk membebaskan manusia dari rasa cemas, bukan menciptakan ketakutan baru.”
Inilah saatnya mengembalikan agama kepada wajahnya yang asli: sebagai rahmah (kasih sayang), bukan alat tekanan.
Saatnya Merasakan Kelembutan Agama
Agama itu mudah—bila kita mau mendekatinya dengan hati yang jernih dan jiwa yang terbuka. Ia bukan sistem yang menindas, melainkan jalan hidup yang memerdekakan. Ia memberi petunjuk, bukan menghukum; memberi cahaya, bukan membakar.
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ ١٧
“Sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran. Maka adakah yang mau mengambil pelajaran?” (QS Al-Qamar: 17)
Pertanyaannya sekarang bukan lagi “mengapa agama terasa sulit,” tapi apakah kita sudah benar-benar mengenal dan memahami agama itu secara utuh? Ataukah kita justru membungkusnya dengan tafsir, tekanan, dan ketakutan yang kita ciptakan sendiri?
Karena pada akhirnya, agama yang terasa sulit bukanlah agama itu sendiri, tetapi bayangan kita yang keliru tentangnya.
Maka sudah saatnya kita kembali kepada kesederhanaan, kelembutan, dan kemudahan yang memang menjadi ruh dari ajaran Islam.(husni fahro)
* Husni Fahro; peminat kajian Nasionalis Religius dan solidarits sosial, alumni IAIN Sumatera Utara tinggal di Bogor.