Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Ketika Ego Menjadi Berhala: Peringatan Al-Qur’an yang Terlupakan

138
×

Ketika Ego Menjadi Berhala: Peringatan Al-Qur’an yang Terlupakan

Share this article

Penulis: emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Di era digital yang mengangkat suara individu sebagai kebenaran mutlak, satu peringatan Al-Qur’an terasa semakin relevan namun ironisnya terlupakan: ego bisa menjadi berhala.

Ini bukan sekadar pernyataan moral, melainkan diagnosa spiritual yang mendalam terhadap penyakit hati manusia. Al-Qur’an menegaskan dengan lantang:

اَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُۗ اَفَاَنْتَ تَكُوْنُ عَلَيْهِ وَكِيْلًاۙ ۝٤٣

“Apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan? Maka apakah kamu akan menjadi pelindungnya?” (QS Al-Furqan: 43)

Dan lebih jauh lagi:

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةًۗ… ۝٢٣

Tahukah kamu (Nabi Muhammad), orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya “Maka Allah menyesatkannya, padahal dia mengetahui, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutup atas penglihatannya…” (QS Al-Jatsiyah: 23)

Dalam dua ayat ini, ego bukan sekadar masalah moral atau psikologis, tetapi masalah teologis—ego yang membesar telah mengambil posisi yang hanya layak bagi Tuhan: sebagai pusat pengambilan keputusan, sebagai pengatur nilai, dan sebagai sumber makna.

Berhala Baru Bernama ‘Aku’

Dalam dunia yang semakin menghapus batas antara ekspresi diri dan pemujaan diri, kita perlahan tapi pasti telah menempatkan diri kita sendiri sebagai otoritas tertinggi.

Dalam nama keaslian, kita membenarkan amarah. Dalam nama kebebasan, kita menolak kritik. Dalam nama “menjadi diri sendiri”, kita menyangkal kebenaran yang tak sesuai selera.

Sosiolog Muslim, Dr. Syed Hussein Alatas, dalam pemikirannya tentang “budaya egoisme struktural”, menyebut bahwa masyarakat yang dikuasai ego cenderung mengalami kebuntuan moral dan korupsi spiritual karena tidak lagi memiliki standar objektif di luar dirinya.

Fenomena ini mirip dengan apa yang diperingatkan Al-Qur’an sebagai “agama hawa nafsu” — di mana ego menjadi ilah, dan segala yang tidak sesuai dengannya otomatis ditolak, meskipun berasal dari Tuhan sendiri.

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَاۗ… ۝١٧٠

 “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘Tidak, kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami.’” (QS Al-Baqarah: 170)

Pola ini terulang dalam sejarah: bukan karena kekurangan bukti atau kurangnya wahyu, tapi karena kesombongan diri yang tak mau ditundukkan.

Musa, Anak Sapi, dan Ego Kaum

Salah satu ilustrasi paling tegas dari Al-Qur’an tentang bagaimana ego menjadi berhala dapat ditemukan dalam kisah penyembahan anak sapi oleh Bani Israil. Musa berkata kepada kaumnya:

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ اِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ اَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوْبُوْٓا اِلٰى بَارِىِٕكُمْ فَاقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِنْدَ بَارِىِٕكُمْۗ … ۝٥٤

> (Ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, sesungguhnya kamu telah menzalimi dirimu sendiri karena menjadikan anak sapi (sebagai sembahan). Maka bertaubatlah kepada Tuhanmu dan bunuhlah dirimu (egomu). Itu lebih baik bagimu di sisi Tuhanmu.” (QS Al-Baqarah: 54)

Para mufassir seperti Imam Fakhruddin ar-Razi menafsirkan bahwa “bunuhlah dirimu” tidak sekadar berarti hukuman fisik, tetapi juga simbol dari pembinasaan hawa nafsu dan ego yang menjadi sebab syirik tersembunyi.

Egoisme: Akar Banyak Penyakit Sosial

Dari konflik rumah tangga, perseteruan antar kelompok, hingga polarisasi politik dan keagamaan, banyak masalah kita berpangkal pada satu hal: keengganan untuk merendahkan ego. 

Setiap pihak merasa paling benar, paling layak bicara, dan paling layak diikuti. Padahal, Al-Qur’an telah mengingatkan bahwa satu-satunya standar keutamaan bukanlah status, ras, suku, atau bahkan pendapat pribadi, melainkan takwa:

…اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ…۝١٣

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat: 13)

Bahkan para nabi dan rasul pun tidak luput dari ujian ego, namun mereka berhasil mengatasinya dengan kerendahan hati. Nabi Yusuf mengakui:

وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ … ۝٥٣

”  Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena. sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS Yusuf: 53)

Dan Nabi Daud diperingatkan:

الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ…۝٢٦

 “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS Shad: 26)

Membunuh Ego, Menemukan Tuhan

Jika kita menyadari bahwa ego bisa menjadi berhala, maka langkah spiritual pertama adalah mengidentifikasi saat-saat ketika kita lebih tunduk pada emosi, gengsi, atau opini pribadi ketimbang pada kebenaran yang diajarkan Tuhan.

Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, “Jihad terbesar adalah melawan hawa nafsumu. Ia lebih sulit daripada melawan musuh luar, karena musuh ini selalu tinggal bersamamu.

” Ia juga menambahkan bahwa orang yang mampu mengendalikan egonya akan mudah menerima kebenaran walau datang dari orang yang dibencinya.

Kita tidak akan pernah bisa menghancurkan ego sepenuhnya, tapi kita bisa memasukkannya kembali ke tempat yang semestinya: sebagai pelayan kebenaran, bukan sebagai tuhan.

Sebuah Seruan Reorientasi

Jika ada satu berhala yang paling berbahaya hari ini, itu bukan patung yang dipuja, tapi kepribadian yang diagungkan.

Jika ada satu musuh terbesar dalam perjalanan ruhani kita, itu bukan setan yang membisik, melainkan ego yang dibela mati-matian atas nama harga diri dan kebebasan.

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ ۝٩وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ ۝١٠

 “Maka barang siapa yang membersihkan jiwanya, sungguh dia telah beruntung. Dan barang siapa mengotorinya, sungguh dia telah merugi.” (QS Asy-Syams: 9–10)

Saatnya kembali pada peringatan Al-Qur’an yang terlupakan ini. Saatnya menurunkan ego dari singgasananya, dan mengangkat kembali Tuhan sebagai pusat hidup kita.(emha)

 

Example 120x600