Scroll untuk baca artikel
BeritaInternasional

‘Rezim Zionis Bukan Negara’: Iran dan Penolakan Total atas Negosiasi dengan Israel

132
×

‘Rezim Zionis Bukan Negara’: Iran dan Penolakan Total atas Negosiasi dengan Israel

Share this article

Penulis: acank | Editor: asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta – Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali mencuat, kali ini dengan intensitas yang belum pernah terjadi sejak awal tahun. Serangan balasan, gencatan senjata yang rapuh, dan tudingan pelanggaran hukum internasional menjadi tajuk utama yang menghiasi ruang publik global.

Di tengah kemelut ini, Iran secara tegas menyatakan sikapnya: menolak seluruh bentuk negosiasi dengan Israel, yang oleh Teheran tidak diakui sebagai entitas negara.

Dalam forum Ambassadorial Lecture yang digelar di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Kamis (26/6/2025), Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia, Muhammad Boroujerdi, menyampaikan sikap lugas dan tanpa basa-basi. “Rezim Zionis bukan sebuah negara, di mana kami bisa melakukan negosiasi dan mencapai kesepakatan. Mereka adalah sebuah tentara yang menduduki wilayah lain,” ujar Boroujerdi di hadapan akademisi dan mahasiswa.

Pernyataan tersebut bukanlah retorika kosong. Ia mencerminkan doktrin luar negeri Iran yang konsisten sejak Revolusi 1979—yakni penolakan terhadap eksistensi Israel sebagai entitas sah.

Penolakan ini diperkuat oleh pengalaman panjang konflik dan agresi yang diyakini Teheran sebagai bentuk pendudukan ilegal dan pelanggaran hak asasi rakyat Palestina serta destabilisasi kawasan oleh Tel Aviv.

Diplomasi yang Dikhianati

Boroujerdi menambahkan bahwa berbagai tawaran mediasi yang datang dari negara-negara lain telah ditolak oleh pemerintahnya. “Kami tidak memerlukan mediasi maupun kesepakatan. Kami hanya merespons agresi. Kami tidak memulai provokasi,” tegasnya.

Hal senada disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi, yang dalam wawancara televisi, Kamis (26/6), mengecam tindakan militer Amerika Serikat dan Israel. Ia menyebut serangan terhadap tiga fasilitas nuklir Iran—Natanz, Fordow, dan Isfahan—sebagai pengkhianatan terhadap proses diplomasi yang sebelumnya berjalan secara tidak langsung.

“Mereka memilih rudal, bukan dialog. Maka kami menilai belum ada landasan untuk kembali ke meja perundingan,” ujar Araqchi, menegaskan bahwa tidak ada pembicaraan ataupun kesepakatan yang disiapkan terkait negosiasi nuklir maupun keamanan regional dengan pihak AS, apalagi dengan Israel.

Kecurigaan terhadap Narasi Perdamaian

Sikap Iran yang menolak keras negosiasi tidak dapat dilepaskan dari persepsi tentang inkonsistensi Israel. Menurut Boroujerdi, narasi damai yang dibawa Israel hanya muncul ketika mereka sedang dalam posisi terdesak.

“Ketika mereka lemah, mereka mengusung perdamaian. Tapi saat merasa kuat, mereka menyerang. Rezim ini tidak boleh dibiarkan menjadi kuat,” ujarnya.

Pernyataan ini mencerminkan ketidakpercayaan Iran terhadap proses perdamaian yang selama ini lebih banyak bersifat simbolik ketimbang substansial.

Kritik serupa juga datang dari analis Timur Tengah, Mehran Kamrava, profesor studi internasional dari Georgetown University Qatar, yang dalam wawancara dengan Al Jazeera menyebut, “Selama Israel terus mempertahankan pendekatan militeristik dan ekspansionis, negara-negara seperti Iran tidak akan pernah percaya bahwa ada itikad tulus dalam setiap ajakan damai.”

Mengakar pada Isu Keadilan

Bagi Iran, persoalan ini bukan semata soal geopolitik, tetapi juga keadilan historis. Sejak awal, Iran menempatkan diri sebagai pendukung perjuangan Palestina.

Dalam narasi resmi negara, perlawanan terhadap Israel bukanlah sekadar konflik teritorial, melainkan perjuangan melawan apartheid modern dan kolonialisme.

Posisi ini diperkuat oleh hasil laporan terbaru Dewan Hak Asasi Manusia PBB, yang menyoroti pelanggaran sistemik terhadap warga Palestina, termasuk ekspansi permukiman ilegal dan pembatasan akses terhadap fasilitas dasar.

Hal ini turut menjadi pembenaran moral bagi Iran untuk tidak mengakui Israel sebagai negara sah.

Menuju Polarisasi Baru?

Ketegangan yang terus membara ini menunjukkan bahwa kawasan Timur Tengah tengah memasuki fase baru polarisasi. Ketika Amerika Serikat masih menjadi aktor dominan dalam mendukung Israel secara militer dan diplomatik, Iran merapat ke poros perlawanan yang berupaya mendefinisikan ulang peta kekuatan regional.

Klaim gencatan senjata yang diumumkan Presiden AS Donald Trump setelah “Perang 12 Hari” antara Iran dan Israel, sejauh ini tidak diikuti dengan langkah konkret untuk membangun kepercayaan.

Sebaliknya, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, justru telah menginstruksikan IDF untuk menyiapkan rencana serangan lanjutan terhadap Iran, demi mempertahankan “superioritas udara”.

Dengan kata lain, api konflik belum benar-benar padam—dan peluang untuk dialog kian mengecil di tengah atmosfer saling curiga dan retorika keras.

Akhir Kata

Dalam dunia yang kian terpolarisasi, diplomasi seringkali berjalan di atas bara. Namun ketika sebuah pihak menolak keberadaan pihak lain sebagai subjek politik sah, jalan damai akan selalu buntu. Maka pertanyaan mendasarnya bukanlah “kapan akan ada perundingan?” melainkan, “apakah masih ada kepercayaan yang tersisa untuk berdialog?”

Seperti dikatakan sejarawan dan filsuf Inggris, Arnold Toynbee, “Peradaban akan bertahan bukan karena kekuatannya, tetapi karena kemampuannya menyelesaikan konflik tanpa senjata.” Sayangnya, di Timur Tengah hari ini, senjata masih berbicara lebih lantang.(acank)

 

Example 120x600