ppmindonesia.com.Jakarta- Di tengah dunia yang kian gaduh dengan klaim kebenaran personal dan penghakiman sosial, ayat ini datang sebagai hembusan napas dari langit:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS Al-Hujurat: 13)
Ayat ini bukan sekadar puisi toleransi atau ajakan damai, melainkan manifesto spiritual dan sosial yang mendobrak tembok kesombongan manusia—terutama kesombongan yang dibangun oleh ego identitas: ras, suku, status sosial, hingga pendapat keagamaan.
Etika Qurani: Mengenal, Bukan Menghakimi
Kata kunci dari ayat ini adalah “li ta’ārafū”—agar kamu saling mengenal. Dalam bahasa Arab, kata ini memiliki akar yang sama dengan ‘urf (tradisi), ma’ruf (kebaikan yang dikenal), dan ta’aruf (proses perkenalan yang membangun keterikatan). Maka, QS 49:13 bukan hanya menyeru kita untuk mengenali keanekaragaman, tapi juga membangun relasi penuh penghargaan di dalamnya.
Prof. Muhammad Abduh dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini “menghapus kebanggaan keturunan dan garis darah sebagai tolok ukur kemuliaan, lalu menggantinya dengan standar moral dan spiritual—yakni takwa.” Artinya, dalam pandangan Qurani, nilai manusia tidak diukur dari luar, tetapi dari dalam.
Ego dan Penyakit Perbandingan
Namun realitas hari ini berbeda jauh. Kita hidup dalam budaya yang gemar membandingkan, mengelompokkan, dan menghakimi. Dari media sosial hingga mimbar agama, kita kerap melihat penilaian cepat terhadap siapa yang paling benar, paling baik, atau paling suci. Yang satu bangga dengan mazhabnya, yang lain dengan jilbabnya, yang ini dengan pendidikannya, yang itu dengan keturunannya.
Inilah bentuk lain dari ego kolektif—ketika identitas kita dijadikan alasan untuk merendahkan yang lain. Al-Qur’an menyebut ini sebagai bentuk kebodohan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ١١
“Wahai orang-orang yang beriman! Jangan suatu kaum merendahkan kaum yang lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka. Dan jangan pula perempuan-perempuan merendahkan perempuan lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka. Janganlah kamu saling mencela dan memanggil dengan gelar-gelar buruk.Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.” (QS Al-Hujurat: 11)
Ayat ini merupakan kelanjutan langsung dari QS 49:13, seakan Tuhan tahu betul bahwa kebanggaan identitas bisa meracuni hati jika tidak diarahkan kepada pengenalan, melainkan penilaian.
Saling Mengenal Adalah Ibadah
Ketika Tuhan menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, itu bukan kesalahan sejarah, tapi bagian dari rancangan ilahi untuk memperkaya kemanusiaan. Maka mengenal perbedaan bukan tugas sosial semata, tetapi ibadah spiritual. Dalam hal ini, etika anti-ego yang ditawarkan Al-Qur’an adalah mengakui bahwa:
- Kita bukan pusat dunia;
- Kita bukan penilai utama sesama manusia;
- Kita semua adalah makhluk dalam perjalanan menuju Tuhan, dan hanya Dia yang tahu siapa yang paling dekat.
Sebagaimana ditegaskan dalam QS 53:32:
…هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰىࣖ ٣٢
“…Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa.”
Pandangan Cendekiawan dan Relevansi Kontemporer
Cendekiawan kontemporer seperti Prof. Tariq Ramadan menyebut ayat ini sebagai “manifesto inklusi spiritual.” Menurutnya, ayat ini bukan hanya meruntuhkan diskriminasi etnis, tetapi juga membuka jalan bagi pluralisme spiritual yang bermartabat, karena kemuliaan seseorang tidak bisa diakses dengan kasat mata—hanya Tuhan yang tahu isi hati manusia.
Sementara itu, Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam: Doktrin dan Peradaban menjelaskan bahwa misi Islam bukan membentuk keseragaman, tapi membina keragaman yang harmonis. Ia menyebut QS 49:13 sebagai dasar utama bagi “masyarakat tauhid yang inklusif dan terbuka.”
Saatnya Menundukkan Ego
QS 49:13 adalah pelajaran penting bahwa ego kita tidak berhak menentukan siapa yang lebih baik. Kita hanya diperintahkan untuk mengenal, bukan menilai; mendekat, bukan menjauh; mengakui, bukan menghakimi. Inilah etika Qurani yang terlampau indah untuk dibiarkan menjadi hiasan mushaf tanpa praktik sosial.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.”(HR. Muslim)
Jika dunia ingin damai, jika umat ingin bersatu, jika manusia ingin mengenali Tuhan, maka mulailah dengan meruntuhkan ego yang merasa paling benar, dan membuka hati untuk mengenali wajah Tuhan dalam sesama.(emha)