Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Dosa Publik dan Akar Munafik: Ketika Agama Menjadi Simbol Tanpa Substansi

143
×

Dosa Publik dan Akar Munafik: Ketika Agama Menjadi Simbol Tanpa Substansi

Share this article

Punulis : husni fahro| Edditor; asyary

ppmindonesia.com. Bogor– Dalam sebuah peradaban, agama adalah napas yang seharusnya menghidupkan keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Ia bukan sekadar atribut simbolik, tetapi sumber nilai dan arah moral. 

Namun, di tengah riuhnya simbol-simbol keagamaan yang dipajang di ruang publik, mulai dari seragam, jargon, hingga seremoni, kita justru menyaksikan bangsa yang krisis integritas, lelah oleh kemunafikan kolektif, dan terjebak dalam dosa-dosa publik yang terus berulang.

Agama memang hadir. Tapi hanya sebagai tampilan luar. Substansinya terlupakan.

Sebagaimana diingatkan Al-Qur’an:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ ۝٢كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ ۝٣

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS Ash-Shaff [61]: 2–3)

Ayat ini bukan hanya teguran bagi pribadi, tapi juga teguran atas budaya kepura-puraan publik. Ketika negara dan masyarakat ramai memakai simbol agama, tapi realitasnya justru penuh dusta, ketidakadilan, dan keserakahan — di situlah agama telah menjadi topeng, bukan panduan.

Simbolisme Agama yang Tumpul

Hari ini kita hidup di negeri yang gemar mengutip ayat dalam sambutan, tapi menunda-nunda keadilan dalam keputusan. Gemar menutup aurat di layar, tapi membuka aib sesama di media sosial. 

Bersemangat menyambut bulan suci, tapi menutup mata terhadap kelaparan yang terjadi di sekitarnya. Semua ini bukan sekadar ironi — ini adalah gejala dari dosa publik yang bersumber dari akar kemunafikan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

 “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, dia berdusta; jika berjanji, dia mengingkari; jika diberi amanah, dia berkhianat.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Bayangkan jika tiga penyakit ini menjangkiti birokrasi, politik, dakwah, dan budaya populer. Maka bukan hanya individu yang rusak, tapi struktur sosial yang tercemar. Maka tak heran jika kita menyaksikan keadilan yang tertunda, hukum yang tajam ke bawah, dan keputusan yang lebih berpihak pada kekuatan modal daripada rakyat kecil.

Dalam konteks inilah, Buya Hamka pernah mengingatkan dengan tajam:

 “Agama tanpa akhlak adalah penipuan. Dan akhlak tanpa iman adalah kehampaan.”

Simbol agama tanpa substansi hanyalah kemunafikan yang dibungkus estetika. Dan jika kemunafikan ini dibiarkan tumbuh dalam sistem — maka ia menjadi dosa publik.

Dosa Publik yang Dianggap Biasa

Apa itu dosa publik? Ia adalah keburukan yang dilakukan bersama, ditoleransi bersama, dan kemudian menjadi budaya. Korupsi yang dianggap ‘lumrah’, nepotisme yang dianggap ‘wajar’, atau intoleransi yang dibenarkan atas nama ‘melindungi agama’.

Padahal sejatinya, semua itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai agama itu sendiri.

Al-Qur’an menyindir mereka yang menjadikan agama sebagai tameng untuk menutupi kebusukan:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهٗ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِيْ قَلْبِهٖۙ وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَامِ ۝٢٠٤

“Dan di antara manusia ada yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dia menjadikan Allah sebagai saksi atas isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras.”(QS Al-Baqarah [2]: 204)

Kita tidak kekurangan masjid, pesantren, dan majelis. Tapi kita kekurangan keberanian untuk menegakkan nilai agama dalam bentuk kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan amanah. Di sinilah letak paradoks keagamaan kita: meriah dalam ritus, tapi lemah dalam etika.

Agama Sebagai Jalan, Bukan Topeng

Jika bangsa ini ingin keluar dari stagnasi, maka simbol agama harus dikembalikan pada esensinya. Kita tidak bisa hanya mengeluh soal kerusakan moral jika dalam keseharian, kita masih memelihara ketidakjujuran, apatisme, dan toleransi terhadap dosa sosial.

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِۚ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًاۙ ۝١٤٥

 “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.”(QS An-Nisa [4]: 145)

Ayat ini bukan hanya ancaman, tapi peringatan keras bahwa kemunafikan adalah ancaman terbesar bagi tegaknya peradaban yang sehat. Dan jika bangsa ini tak segera bangun dari kepura-puraannya, maka keruntuhan itu bukan karena kekurangan sumber daya — tetapi karena kehilangan moral dan substansi.

Refleksi dan Harapan

Kita harus jujur mengakui: terlalu lama bangsa ini sibuk mempercantik wajah agama, tapi melupakan cerminan hatinya. Terlalu sibuk mempertahankan simbol, tapi abai terhadap substansi.

Sudah saatnya kita membenahi bukan hanya wajah luar, tapi juga hati sosial bangsa ini. Agama tidak boleh lagi dijadikan tameng untuk keburukan. Ia harus menjadi jalan terang menuju keadilan, kejujuran, dan kasih sayang universal.

Sebagaimana pesan Sayyid Qutb:

 “Agama bukan untuk dipajang dalam upacara dan seremoni. Agama adalah jalan perjuangan dan pembebasan.” (husni fahro)

* Husni Fahro; peminat kajian  Nasionalis Religius dan solidarits sosial, alumni IAIN Sumatera Utara tinggal di Bogor.

 

Example 120x600