Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Cinta Dunia, Takut Mati: Penyakit Zaman yang Tumbuh dari Hati Tak Bersyukur

294
×

Cinta Dunia, Takut Mati: Penyakit Zaman yang Tumbuh dari Hati Tak Bersyukur

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Dalam dunia yang serba cepat, serba ingin, dan serba terlihat, manusia modern telah menciptakan paradoks besar: semakin banyak yang dimiliki, semakin besar ketakutannya kehilangan. Ia mencintai dunia sedemikian rupa, hingga lupa bahwa hidup ini sementara. Dan karena terlalu cinta dunia, ia pun mulai takut mati. Di sinilah akar penyakit zaman: hati yang tak bersyukur, tak tahu cukup, dan tak siap pulang kepada Sang Pencipta.

Rasulullah SAW menggambarkan gejala ini dengan sangat jelas dalam sabdanya:

*“Hampir tiba suatu masa di mana bangsa-bangsa akan mengerumuni kalian sebagaimana orang-orang yang lapar mengerumuni hidangan.” Para sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit saat itu, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak. Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih di lautan. Allah mencabut rasa takut dari dada musuh kalian terhadap kalian dan Allah menimpakan dalam hati kalian penyakit ‘wahn’.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah itu wahn, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini bukan sekadar nubuat, melainkan diagnosis sosial yang semakin relevan hari ini. Cinta dunia dan takut mati adalah gejala spiritual yang muncul ketika manusia kehilangan arah hidupnya, ketika dunia menjadi tujuan, bukan jalan.

Dunia yang Dikejar Tanpa Arah

Manusia modern sangat sibuk. Bangun pagi dikejar target, tidur larut dikejar ambisi. Semua demi dunia: jabatan, harta, prestise. Tapi, mengapa masih banyak yang gelisah? Mengapa di tengah limpahan kemudahan, hidup terasa hampa?

Jawabannya sederhana namun dalam: karena manusia lupa bersyukur. Lupa bahwa dunia adalah ladang amal, bukan ruang pamer. Lupa bahwa setiap detik adalah karunia, bukan kompetisi tanpa akhir. Syukur bukan hanya tentang “terima kasih”, melainkan tentang menyadari batas: bahwa dunia ini fana, dan hanya berarti bila dimaknai sebagai sarana menuju akhirat.

Allah SWT berfirman:

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ… ۝٢٠

 “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, saling bermegah-megahan di antara kalian, serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan…” (QS. Al-Hadid: 20)

Ayat ini bukan pelarangan terhadap dunia, tetapi peringatan agar kita tidak tenggelam di dalamnya. Dunia indah, tapi bukan tempat tinggal abadi. Dunia penting, tapi bukan tujuan akhir.

Takut Mati: Gejala dari Hati yang Tak Siap Kembali

Takut mati adalah hal yang manusiawi. Namun ketakutan yang melumpuhkan, yang membuat orang menjauhi akhirat dan terobsesi menambah dunia, adalah penyakit. Ketakutan ini tumbuh subur ketika hati terlalu melekat pada dunia dan terlalu jauh dari Allah.

Imam Ibnul Qayyim berkata:

 “Cinta terhadap dunia melahirkan rasa benci terhadap kematian, dan cinta terhadap akhirat melahirkan kerinduan untuk bertemu dengan Allah.”

Ketika hati tak disirami syukur, maka ia akan merasa kosong. Dan kekosongan itu diisi dengan kelekatan terhadap hal-hal fana. Orang yang tidak bersyukur akan terus merasa kurang, dan karena takut kekurangan itulah ia pun takut mati. Padahal, kematian adalah jembatan menuju kehidupan yang sebenarnya.

Allah SWT mengingatkan:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ… ٨٥

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Syukur: Obat dari Penyakit Cinta Dunia

Syukur adalah benteng pertama yang melindungi manusia dari perbudakan dunia. Orang yang bersyukur tahu kapan berhenti, tahu kapan berbagi, tahu bahwa hidup bukan sekadar menumpuk. Ia sadar bahwa dunia hanyalah titipan, dan segala kenikmatan akan dimintai pertanggungjawaban.

Allah menjanjikan dalam QS Ibrahim:7:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ۝٧

” Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Dengan syukur, hati menjadi tenang. Dunia tak lagi mengejar kita, karena kita tak lagi mengejar dunia. Dengan syukur, kita belajar menerima, dan dalam penerimaan itulah muncul kesiapan untuk pulang—yakni tidak takut mati karena yakin kehidupan sejati dimulai setelahnya.

Hati yang Bersyukur Tak Takut Kehilangan

Harta yang disyukuri tak akan menjadi beban. Jabatan yang disyukuri tak akan melahirkan kesombongan. Waktu yang disyukuri akan digunakan untuk kebaikan. Dan hidup yang disyukuri akan menjadikan kematian sebagai puncak pertemuan dengan Sang Maha Pemberi.

Tokoh spiritual kontemporer, Shaykh Hamza Yusuf, pernah berkata:

“The heart that is full of gratitude fears nothing—not poverty, not failure, not even death.”

Hidup yang Disyukuri adalah Hidup yang Tidak Takut Mati

Cinta dunia dan takut mati bukanlah dosa besar dalam bentuk fisik, tapi ia adalah kerusakan batin yang menggerus iman. Ia muncul ketika syukur digantikan oleh ambisi berlebih, ketika kehidupan hanya diisi oleh akumulasi, bukan makna.

Syukur adalah cahaya yang mengarahkan kita kembali: bahwa hidup adalah jalan, bukan tujuan. Dan mati bukan akhir, tapi permulaan dari balasan atas setiap rasa syukur atau kufur.

“Fabi ayyi ālā’i rabbikumā tukażżibān”

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman)

Maka marilah bersyukur dalam setiap napas, agar hati tak lagi dipenjara cinta dunia, dan jiwa tak lagi gentar menghadapi kematian.(emha)

Example 120x600