ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah gemuruh roket yang melintasi langit Iran dan Israel, dan di tengah jerit pilu yang terus terdengar dari Gaza, dunia menyaksikan satu hal yang kontras dan mengganggu: kesunyian panjang dari sebagian besar negara-negara Muslim.
Tak ada gelombang kecaman, tak ada pernyataan sikap yang berarti, bahkan tak ada inisiatif nyata untuk meredakan ketegangan atau menolong mereka yang tertindas.
Sunyi ini bukan sekadar diplomatik. Ia adalah keheningan moral. Sebuah kekosongan yang lahir dari tarik-menarik kepentingan antara mazhab, kepentingan ekonomi, dan klaim solidaritas terhadap Palestina yang kian terasa formalitas semata.
Ketika Mazhab Menjadi Batas Solidaritas
Konflik antara Iran dan Israel, yang pada permukaannya tampak sebagai benturan antara dua kekuatan regional, sebenarnya juga mencerminkan luka dalam di tubuh dunia Islam sendiri: retaknya hubungan Sunni dan Syiah.
Iran, yang mayoritas Syiah, secara konsisten mendukung kelompok perlawanan Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam. Namun, dukungan ini tidak selalu dibalas dengan simpati dari negara-negara Arab Sunni. Sebaliknya, Iran sering dicurigai sedang memperluas pengaruh sektarian dan politiknya di Timur Tengah.
Sejarah yang panjang, penuh konflik dan kecurigaan antar-mazhab, tampaknya lebih kuat daripada semangat ukhuwah Islamiyah. Alih-alih membangun jembatan, negara-negara Muslim justru membangun pagar—dan dalam banyak kasus, menutup telinga.
Padahal, dalam konflik global seperti ini, solidaritas seharusnya melampaui perbedaan mazhab. Umat Islam, yang terbagi dalam Sunni, Syiah, Ibadi, hingga berbagai cabang lainnya, seharusnya dipersatukan oleh nilai keadilan dan kepedulian pada penderitaan sesama manusia.
Namun realitasnya berbeda. Seperti diingatkan oleh Al-Qur’an dalam Surah Al-An’am ayat 159:
اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ اِنَّمَآ اَمْرُهُمْ اِلَى اللّٰهِ … ١٥٩
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-mecah agama mereka dan menjadi golongan-golongan, bukanlah engkau (Muhammad) dari golongan mereka dalam sesuatu pun. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah kepada Allah.”
Ayat ini tidak hanya menegur, tetapi juga menjadi cermin pahit bagi umat hari ini yang lebih loyal pada golongan ketimbang pada nilai Islam itu sendiri.
Dilema Ekonomi dan Ketergantungan Global
Diamnya negara-negara Muslim tidak bisa dilepaskan dari faktor lain yang tak kalah penting: ekonomi dan geopolitik. Banyak negara di kawasan Teluk dan Asia kini bergantung pada aliansi strategis dengan Barat—khususnya Amerika Serikat, sekutu utama Israel.
Ketergantungan pada investasi, bantuan militer, ekspor-impor teknologi, hingga stabilitas keamanan domestik membuat banyak pemimpin Muslim berpikir dua kali sebelum mengeluarkan sikap tegas terhadap Israel atau mendukung Iran secara terbuka. Solidaritas digadaikan untuk stabilitas. Retorika dikedepankan, tetapi tindakan dikalkulasi.
Beberapa negara bahkan telah menormalisasi hubungan dengan Israel lewat Abraham Accords, yang disponsori Washington. Kepentingan dagang, teknologi, dan keamanan regional lebih diprioritaskan ketimbang konsistensi moral atas penjajahan dan pelanggaran HAM di Palestina.
Dan Palestina Kembali Terpinggirkan
Yang paling menyedihkan dari semua ini adalah nasib Palestina—yang selalu dijadikan simbol persatuan umat, tetapi justru menjadi korban utama dari diam dan perpecahan umat itu sendiri.
Palestina hari ini bukan hanya terkepung oleh tentara dan tembok-tembok beton, tetapi juga oleh ketidakpedulian yang disamarkan dengan diplomasi. Gaza yang diluluhlantakkan, Tepi Barat yang terus dicaplok, dan Al-Quds yang terus dirampas, kini hanya menjadi latar bagi konflik yang lebih besar antarnegara dan mazhab.
Iran mungkin memiliki kepentingannya sendiri dalam mendukung Palestina, tetapi setidaknya mereka masih bersuara dan bertindak. Sementara sebagian besar negara Sunni, yang memiliki kekuatan ekonomi dan pengaruh diplomatik besar, justru memilih jalan senyap. Bukan netralitas, tapi penghindaran.
…وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ..٨
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Ayat ini, yang kerap dikutip, tampaknya masih sulit diwujudkan. Ketika mazhab menjadi lebih penting daripada kemanusiaan, dan ketika keuntungan ekonomi mengalahkan nurani, maka keadilan hanyalah slogan.
Kapan Umat Islam Bangun dari Sunyi Ini?
Dunia Muslim tidak kekurangan jumlah. Tidak kekurangan negara, tentara, atau kekayaan. Tapi barangkali yang kurang adalah keberanian moral dan visi keumatan yang melampaui identitas sektarian dan pragmatisme ekonomi.
Kesunyian negara-negara Muslim hari ini bukan sekadar absennya pernyataan politik. Ia adalah cermin krisis orientasi umat. Palestina menunggu. Dunia menyaksikan. Dan sejarah akan mencatat—siapa yang bersuara, siapa yang berpihak, dan siapa yang memilih diam.(acank)
Catatan Redaksi:
Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan negara atau mazhab tertentu, melainkan mengajak umat Islam dan komunitas global untuk merefleksikan kembali orientasi moral dalam melihat konflik, penderitaan, dan kemanusiaan.