Scroll untuk baca artikel
BeritaKesehatan

Ramuan Pahit Penjaga Imun: Temu Ireng di Era Modern

98
×

Ramuan Pahit Penjaga Imun: Temu Ireng di Era Modern

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta – Di balik rasa pahit yang menusuk lidah, tersimpan potensi kesehatan yang manis bagi tubuh. Temu ireng (Curcuma aeruginosa), salah satu rimpang asli hutan tropis Indonesia, kembali naik daun di tengah maraknya pencarian solusi kesehatan alami. Bukan hanya sebagai warisan tradisional, namun juga sebagai bagian dari pendekatan gaya hidup sehat masa kini.

Dalam dunia pengobatan alternatif, temu ireng bukan nama baru. Ia telah lama digunakan oleh masyarakat Jawa, Kalimantan, hingga Sumatera sebagai jamu untuk memperkuat daya tahan tubuh, mengatasi cacingan, peradangan, bahkan infeksi kulit. Hari ini, dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang semakin maju, khasiat temu ireng mulai diuji secara ilmiah dan diakui dalam jurnal medis internasional.

Kembali ke Alam, Kembali ke Imun

Di era ketika sistem kekebalan tubuh menjadi perhatian utama—terutama pasca-pandemi COVID-19—masyarakat mulai memahami pentingnya menjaga daya tahan secara preventif, bukan sekadar reaktif. Di sinilah temu ireng menemukan perannya kembali.

Kandungan antioksidan dalam temu ireng—terutama dari senyawa flavonoid, tanin, dan kurkumin—memiliki kemampuan menangkal radikal bebas yang dapat merusak sel dan menurunkan imunitas. Antioksidan membantu menjaga keseimbangan tubuh dalam menghadapi stres oksidatif akibat polusi, pola makan buruk, dan gaya hidup serba cepat.

“Dalam fitokimia, kita melihat bahwa tubuh tidak hanya butuh suplemen modern, tetapi juga fitonutrien alami dari tumbuhan lokal,” ungkap Dr. Erna Sari Dewi, ahli tanaman obat dari Universitas Airlangga. “Temu ireng adalah contoh nyata bagaimana tumbuhan lokal bisa menjawab tantangan kesehatan global.”

Lebih dari Sekadar Jamu

Selain menjaga imun, temu ireng memiliki sifat antibakteri dan antiinflamasi, yang membantu melawan infeksi serta meredakan peradangan pada kulit, saluran pernapasan, maupun sendi. Penelitian dalam jurnal Phytomedicine menyebutkan bahwa minyak atsiri temu ireng efektif menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus aureus, penyebab umum infeksi kulit dan luka.

Manfaat lainnya pun tak kalah penting. Dalam beberapa uji laboratorium, kurkumin dari temu ireng menunjukkan kemampuan meningkatkan sensitivitas insulin pada penderita diabetes tipe 2, serta membantu mempercepat penyembuhan luka dan memperbaiki jaringan kulit.

Temu ireng juga bermanfaat bagi penderita asma, berkat sifat spasmolitiknya yang membantu merelaksasi otot saluran napas. Bahkan, sejumlah studi awal menyebutkan adanya potensi sifat sitotoksik dari temu ireng untuk menghambat pertumbuhan sel kanker—meskipun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut dan belum bisa dijadikan terapi utama.

Tradisi yang Beradaptasi

Dalam pengolahan tradisional, temu ireng biasa dikonsumsi dalam bentuk jamu yang dicampur madu, gula aren, atau asam jawa untuk menetralkan rasa pahit. Namun hari ini, berbagai produsen herbal telah mengolahnya menjadi bentuk kapsul, serbuk instan, bahkan minuman praktis siap saji.

Meskipun demikian, perlu kehati-hatian. Seperti tanaman herbal lainnya, penggunaan temu ireng harus memperhatikan dosis, interaksi dengan obat lain, dan kondisi tubuh. Reaksi alergi bisa saja muncul, terutama pada mereka yang sensitif terhadap tanaman dari keluarga Zingiberaceae.

Oleh karena itu, konsultasi dengan tenaga medis tetap dianjurkan, terutama bagi pasien yang sedang menjalani terapi konvensional. Obat herbal bukan pengganti pengobatan medis, melainkan pendukung yang memperkuat proses penyembuhan dan pencegahan.

Masa Depan Herbal Lokal

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan hayati nomor dua terbesar di dunia. Temu ireng hanyalah salah satu dari ribuan tanaman obat yang memiliki potensi besar. Namun, untuk menjadikan herbal lokal sebagai solusi modern, diperlukan kerja sama antara riset akademik, industri, dan kebijakan publik.

Dr. Andreas Wilson Setiawan, M.Kes., menegaskan pentingnya pendekatan berbasis bukti (evidence-based) dalam pengembangan herbal. “Ramuan tradisional yang telah digunakan ratusan tahun bukan berarti harus ditinggalkan. Tapi ia perlu dikaji ulang, dibuktikan efektivitas dan keamanannya, lalu diintegrasikan dalam sistem kesehatan nasional,” ujarnya.

Temu ireng, dalam konteks ini, menjadi cermin dari perjalanan panjang tradisi menuju validasi ilmiah. Dari dapur jamu ibu-ibu desa hingga laboratorium farmasi modern, temu ireng membuktikan bahwa ramuan pahit dari alam bisa menjadi penjaga imun tubuh di tengah zaman yang kompleks. (acank)

 

Example 120x600