ppmindonesia.com. Bogor – Di balik semaraknya kegiatan keagamaan di berbagai sudut negeri ini—dari masjid, majelis, hingga seminar Islami—ada satu pertanyaan yang perlu kita ajukan dengan jujur: apakah ibadah yang kita lakukan sungguh karena Allah, atau karena sesuatu yang lain?
Di era ketika keagamaan menjadi identitas sosial, kadang ibadah pun tergelincir menjadi transaksi. Bukan lagi pengabdian tanpa syarat, tapi sering berisi harapan pamrih: agar dagangan laris, jabatan datang, proyek cair, atau setidaknya nama harum di hadapan manusia. Maka kita pun bertanya: ibadah kok transaksional?
At-Taubah: 74 – Cermin Kemunafikan Tersembunyi
Allah telah menyingkap fenomena ini sejak 14 abad lalu dalam QS. At-Taubah ayat 74:
وَلَقَدْ قَالُوْا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوْا بَعْدَ اِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوْا بِمَا لَمْ يَنَالُوْاۚ …٧٤
“…Padahal sungguh mereka telah mengucapkannya (perkataan menyakitkan kepada Nabi), dan telah menjadi kafir setelah Islam. Mereka ingin sesuatu yang belum mereka raih, dan tidak lain mereka mendendam karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka…”
Ayat ini menyorot orang-orang yang tampak Islami, tapi ibadah dan dukungan mereka hanya muncul ketika ada keuntungan duniawi yang bisa mereka raih. Saat diberi karunia, mereka ikut. Ketika tak dapat bagian, mereka murka. Munafik semacam ini bukan hanya hidup di masa Nabi—tapi juga menjelma dalam wujud modern, dalam bentuk “religiusitas yang penuh perhitungan”.
Agama Jadi Alat, Bukan Tujuan
Sosiolog agama, Peter L. Berger, menyebut gejala ini sebagai “privatisasi agama demi kepentingan pasar dan kekuasaan”. Ia menyayangkan bagaimana agama dijadikan justifikasi untuk keinginan pribadi atau kelompok, bukan sebagai sarana pembersih diri. Di Indonesia, tak jarang kita menyaksikan lembaga keagamaan ikut berlomba dalam proyek duniawi, sementara esensi ibadah justru memudar.
Padahal Allah telah berfirman dengan tegas dalam QS. Al-Bayyinah: 5:
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ ٥
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata, menjalankan agama dengan lurus.”
Bukan karena ingin dilihat, dipuji, atau dihitung. Tapi karena cinta, tunduk, dan taat.
Rahmat Allah, Bukan Imbalan Dunia
Kita pun diingatkan kembali dalam QS. Yunus: 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ ٥٨
“Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”
Namun kenyataannya, sebagian orang hari ini justru bergembira saat proyek diterima, bukan saat hidayah turun.
Ketika masjid dibangun demi gengsi, zakat disalurkan demi citra politik, dan majelis taklim dijadikan ladang donasi yang terstruktur—kita perlu bertanya: di mana letak keikhlasan? Apakah ini ibadah, atau bisnis yang dibungkus spiritualitas?
Imam Al-Ghazali: “Jangan Berdagang dengan Tuhanmu”
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis bahwa salah satu bahaya terbesar dalam ibadah adalah ketika seseorang menyembah Allah dengan motif duniawi. Ia berkata, “Ibadah yang baik adalah ibadah yang tidak menggantungkan diri pada balasan. Jangan berdagang dengan Tuhanmu.”
Ini bukan berarti tak boleh berharap pahala atau pertolongan Allah. Tapi jika ibadah dilakukan hanya agar usaha lancar, calon lolos, atau jabatan naik, maka itu bukan cinta—itu tawar-menawar. Dan Tuhan bukan pasar.
Jalan Keluar: Kembali ke Rahmat, Bukan ke Perhitungan
Allah menyelamatkan manusia bukan karena amalnya semata, tapi karena rahmat dan karunia-Nya. Al-Qur’an mengingatkan:
…وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا ٨٣
“…Kalau bukan karena rahmat dan karunia Allah atas kalian, niscaya kalian akan mengikuti setan, kecuali sedikit saja.” (QS. An-Nisa: 83)
وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِيْ مَآ اَفَضْتُمْ فِيْهِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ١٤
“Kalau bukan karena rahmat dan karunia Allah atasmu, sungguh kamu telah ditimpa azab besar, disebabkan oleh pembicaraan kamu tentang (berita bohong) itu. (QS. An-Nur: 14)
Rahmat inilah yang semestinya menjadi pusat orientasi ibadah kita. Ibadah bukan investasi dunia, tapi jalan pulang kepada-Nya.
Saatnya Jujur dalam Niat
Ibadah adalah panggilan jiwa, bukan strategi sosial. Ia adalah bentuk penyerahan total, bukan ajang pencitraan.
Maka saat kita shalat, berzakat, berdakwah, atau membangun masjid—mari tanyakan pada diri sendiri:
Apakah ini demi ridha-Nya, atau demi rating, relasi, dan rekening?
Karena di hari kiamat kelak, Allah tak akan menilai seberapa banyak proposal kita diterima, tapi seberapa ikhlas kita menyembah-Nya. (husni fahro)
*Husni Fahro; peminat kajian Nasionalis Religius dan solidarits sosial, alumni IAIN Sumatera Utara tinggal di Bogor.