Scroll untuk baca artikel
BeritaHikmah

Lapar yang Tak Pernah Kenyang: Nafsu Serakah dan Krisis Jiwa Modern

90
×

Lapar yang Tak Pernah Kenyang: Nafsu Serakah dan Krisis Jiwa Modern

Share this article

Penulis; emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah deru dunia yang semakin cepat dan padat, manusia modern hidup dalam kelimpahan—namun anehnya, justru semakin merasa kekurangan. Barang-barang bertambah, koneksi meluas, pilihan tak terbatas. Tapi ada yang hilang: ketenangan jiwa, rasa cukup, dan makna. Kita hidup di tengah kemewahan fisik, tapi kerap berada dalam krisis batin yang tak kunjung reda.

Inilah lapar yang tak pernah kenyang—simbol dari nafsu serakah yang menjelma menjadi pola pikir, gaya hidup, bahkan sistem sosial yang terus mendorong manusia untuk “lebih dan lebih”, tanpa pernah menanyakan: untuk apa?

Ketika Nafsu Mengalahkan Akal

Allah SWT telah mengingatkan manusia tentang kecenderungan ini dalam Al-Qur’an:

… اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّ… ۝٥٣

 “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf: 53)

Ayat ini menunjukkan bahwa nafsu, secara kodrati, bersifat liar dan egoistik. Tanpa kendali spiritual dan intelektual, nafsu bisa menyeret manusia pada kerakusan yang tidak mengenal puas. Serakah bukan hanya soal ingin memiliki, tapi keyakinan bahwa kebahagiaan ada di ujung penambahan, bukan pada penerimaan.

Fenomena ini tercermin dalam budaya konsumtif masa kini: barang selalu diperbarui, citra diri dibentuk oleh kepemilikan, dan pencapaian tak lagi soal kualitas hidup, tapi status sosial. Akibatnya, manusia terus berlari—tapi tanpa arah dan tanpa tujuan sejati.

Serakah: Akar Ketimpangan dan Kecemasan

Ulama besar, Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa kerakusan (al-tama‘) adalah salah satu penyakit hati yang berbahaya. Ia menulis:

 “Orang yang tamak tak akan pernah merasakan manisnya iman. Karena hatinya sibuk mengejar dunia, bukan mengingat Allah.”

Pandangan ini sangat relevan dengan kondisi hari ini. Ketika kerakusan merajalela, bukan hanya individu yang rusak, tetapi juga tatanan sosial. Ketimpangan ekonomi, eksploitasi alam, dan persaingan tanpa etika seringkali bermula dari nafsu segelintir orang yang tak kenal cukup.

Di sisi lain, orang biasa pun terdampak. Budaya membandingkan diri—terutama melalui media sosial—mendorong banyak jiwa untuk merasa rendah diri, iri, dan kehilangan rasa syukur. Inilah krisis jiwa modern: bukan karena benar-benar miskin, tapi karena terus merasa kurang.

Miskin Bukan karena Harta, tapi karena Hati

Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memberi kontras tajam terhadap logika kapitalisme modern. Dalam Islam, orang kaya bukan yang punya segalanya, tapi yang merasa cukup atas apa yang diberikan Allah. Kaya jiwa jauh lebih bernilai daripada kaya dompet.

Sebaliknya, rasa lapar yang tak pernah kenyang membuat seseorang hidup dalam ketegangan terus-menerus. Ia takut kehilangan, takut tersaingi, takut tak sempurna di mata orang lain. Maka, hidup pun dihabiskan bukan untuk bertumbuh secara hakiki, melainkan menambal citra dan memuaskan ego.

Krisis Jiwa yang Meninggalkan Tuhan

Dalam QS. Al-Humazah, Allah memperingatkan mereka yang menjadikan harta sebagai pusat hidupnya:

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ ۝١ࣙالَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَّعَدَّدَهٗۙ ۝٢يَحْسَبُ اَنَّ مَالَهٗٓ اَخْلَدَهٗۚ ۝٣

“Celakalah setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (QS. Al-Humazah: 1–3)

Ayat ini menggambarkan arogansi spiritual dari orang yang diperbudak oleh kekayaan. Ia mengira dirinya aman karena punya harta, padahal hatinya telah kosong, jauh dari dzikir dan keimanan.

Cendekiawan Muslim kontemporer, Sayyid Hossein Nasr, pernah menulis:

 “The crisis of the modern soul is the loss of transcendence. When man stops looking upward, he begins to fall into the abyss of his own desires.”

Artinya, ketika manusia berhenti mengingat Allah, ia akan tenggelam dalam nafsunya sendiri. Dan itu adalah penderitaan paling dalam, karena tak ada nafsu yang mampu memberikan kepuasan sejati.

Jalan Keluar: Rasa Cukup dan Syukur

Lawan dari kerakusan adalah qana‘ah—rasa cukup dan menerima dengan lapang dada. Qana‘ah bukan pasrah, tapi kesadaran bahwa kebahagiaan bukan ada pada jumlah, tapi pada keberkahan.

Allah SWT berfirman:

 …وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًاۙ ۝٢…وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗا ۝٣

 “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”(QS. At-Talaq: 2–3)

Rezeki, dalam pandangan Islam, bukan hanya materi, tapi kelapangan hati, ketenangan pikiran, dan ketenteraman jiwa. Dan semua itu hanya bisa diperoleh ketika kita berhenti mengejar dan mulai mensyukuri.

Berhenti Lapar, Mulai Hidup

Kerakusan adalah bentuk lapar yang tidak akan pernah kenyang, kecuali jika hati dikembalikan pada fitrahnya—yaitu mengabdi, bukan menguasai; memberi, bukan menimbun.

 “Fabi ayyi ālā’i rabbikumā tukadzibān?”

“Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman)

Pertanyaan ini adalah panggilan bagi kita semua: untuk berhenti sejenak, melihat ke dalam diri, dan bertanya—apakah kita masih dikejar oleh lapar yang tak akan pernah kenyang? Atau mulai hidup dengan cukup dan syukur?

Karena hanya dengan itu, jiwa kita bisa tenang, dunia jadi seimbang, dan hidup menemukan maknanya kembali.(emha)

Example 120x600