Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Dari Derita Mahasiswi Solo ke Dakwah yang Membumi

100
×

Dari Derita Mahasiswi Solo ke Dakwah yang Membumi

Share this article

Penulis : acank| Editor : asyary

ppmindonesia.com.Jakarta — Suasana di ruang utama Islamic Center Bekasi terasa hangat namun penuh keprihatinan. Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) membuka pelatihan Kader Dakwah Bil Hal, Sabtu (5/7), dengan sebuah cerita yang menusuk hati: kisah seorang mahasiswi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo yang nekat mengakhiri hidupnya dengan terjun dari jembatan setelah ujian skripsi.

Di dalam tas mahasiswi itu, hanya ada dokumen-dokumen akademik. Peristiwa ini, kata Eko Suryono, Presidium PPM Nasional, menjadi potret suram generasi muda kita hari ini. “Ketika menghadapi masalah, mereka lebih memilih jalan pintas,” ujarnya dalam sambutannya.

Acara pembukaan pelatihan yang berlangsung di Islamic Center itu dipandu oleh Alip Purnomo, Wakil Sekjen PPM Nasional, yang juga bertindak sebagai moderator. Dengan tenang, ia memimpin jalannya acara, memperkenalkan para narasumber, dan mengajak peserta untuk menyimak dengan seksama pesan-pesan yang disampaikan. Alip menegaskan bahwa pelatihan ini bukan sekadar seremonial, tetapi juga forum yang dirancang untuk memantik kesadaran bahwa dakwah tak cukup hanya dengan kata-kata.

Peserta Pelatihan Kader Dakwah Bil Hal Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) tanggl 5 Juli 2025, di Islamic Center Bekasi (foto.doc.ppm)

PPM tak ingin hanya menatap kosong tragedi itu. Sebaliknya, peristiwa itu menjadi cambuk untuk merumuskan peran dakwah yang lebih nyata, lebih hadir di tengah persoalan umat. “Tugas kita bukan hanya menasihati, tetapi juga memberi jalan keluar. Kita harus turun ke tanah, menyapa mereka yang lemah, dan membuka peluang bagi yang putus asa,” lanjut Eko.

Selama dua hari, 5–6 Juli 2025, PPM mengajak kader-kader mudanya untuk melihat wajah Islam yang membumi: Islam yang menjawab krisis kemanusiaan dengan kerja nyata. Pelatihan ini menegaskan bahwa dakwah bil hal—dakwah melalui tindakan nyata—adalah wajah Islam yang solutif. Bukan hanya seruan dari mimbar, tetapi juga aksi nyata di ladang, laut, dan lumbung.

Ketua panitia pelatihan, Parito, menegaskan bahwa dakwah bil hal adalah perjuangan panjang yang memerlukan kesabaran dan pengorbanan. “Dakwah bil hal itu berat karena kita membawa nilai sekaligus bekerja mewujudkannya,” katanya.

Para peserta tidak hanya diajak memahami Islam sebagai sistem nilai, tetapi juga ditantang untuk menerjemahkannya dalam program-program sosial dan ekonomi yang menyentuh kehidupan masyarakat. Prinsip tauhid dan kekhalifahan tak berhenti di kepala atau mimbar, tetapi bergerak nyata: mengelola sumber daya secara adil, merawat lingkungan, membangun kemandirian, dan menghapus ketergantungan.

PPM meyakini bahwa pemberdayaan umat harus dimulai dari tempat paling dekat: lokalitas. Sebab, di sanalah akar-akar kekuatan sejati berada. Diskusi-diskusi selama pelatihan banyak menggali potensi lokal—seperti pertanian, perikanan, peternakan, hingga kearifan budaya—sebagai basis ekonomi komunitas.

Eko menyebut, “Dakwah bil hal adalah wajah Islam yang penuh solusi, bukan hanya jargon. Kita ingin para kader bukan hanya menunjuk tangan, tetapi turun tangan.”

Cerita tragis mahasiswi Solo itu menjadi pengingat bahwa Islam tidak boleh berhenti pada retorika. Ia harus hadir, membumi, dan memberi harapan. Dari tragedi itu, para kader PPM belajar bahwa dakwah sesungguhnya bukan hanya mengajarkan cara mati yang baik, tetapi juga cara hidup yang bermakna.

Dengan semangat ini, PPM berharap kader-kadernya akan terus bergerak, menjadikan Islam sebagai laku nyata—bukan sekadar seruan—yang memberi jawaban pada kemiskinan, ketimpangan, dan keputusasaan yang kini membayangi generasi muda. (acank)

Example 120x600