ppmindonesia.com-Jakarta – Di tengah dunia yang terus berkembang, manusia masih terjebak dalam jerat perbedaan: warna kulit, ras, suku, kelas sosial, bahkan penampilan dan pilihan hidup. Banyak yang tanpa sadar memperlakukan manusia berdasarkan identitas luarnya, bukan atas dasar kemanusiaannya. Padahal, ilusi perbedaan ini sudah lama dibongkar oleh Al-Qur’an.
Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS Al-Hujurat: 13)
Ayat ini menjadi deklarasi ilahi tentang kesetaraan manusia. Bukan hanya sesama Muslim, tetapi seluruh umat manusia, sejak Adam hingga anak-anaknya hari ini. Perbedaan bukanlah alasan untuk merasa lebih unggul, melainkan sarana untuk saling mengenal, bukan saling merendahkan.
Perbedaan: Ujian, Bukan Hierarki
Al-Qur’an tidak menolak perbedaan, namun menempatkannya sebagai alat uji kesadaran sosial dan spiritual. Dalam QS Ar-Rum: 22, Allah menyatakan bahwa perbedaan bahasa dan warna kulit adalah “tanda-tanda kebesaran-Nya” (آيَاتِهِ), bukan dasar diskriminasi:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ ٢٢
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS Ar-Rum: 22)
Sayangnya, banyak masyarakat—baik Timur maupun Barat—masih belum mampu melepaskan diri dari logika “kami lebih baik dari mereka.” Ini adalah logika iblis, yang menolak bersujud kepada Adam karena merasa diciptakan dari api, sementara Adam dari tanah (QS Al-A’raf: 12). Inilah racun kesombongan primitif yang diwarisi dari Iblis: menilai makhluk lain berdasarkan asal-usul, bukan berdasarkan takwa dan akhlak.
Setara di Hadapan Allah, Berbeda dalam Amanah
Pandangan Islam tentang manusia adalah egaliter dan fungsional. Semua manusia setara dalam derajat kemanusiaan, namun berbeda dalam amanah dan tanggung jawab. Dalam Islam, tidak ada konsep “ras unggul” atau “kelas spiritual tertentu” yang otomatis menjamin keistimewaan. Satu-satunya pembeda adalah ketakwaan, dan itu pun tak bisa dinilai oleh manusia, karena hanya Allah yang Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya (QS An-Najm: 32).
Dr. Muhammad Iqbal, filsuf Muslim asal India, pernah berkata, “Islam is a protest against all forms of hierarchy, whether based on race, birth, or wealth.” Islam adalah protes terhadap semua bentuk hierarki buatan manusia.
Nabi Muhammad SAW: Revolusi Kesetaraan
Rasulullah ﷺ bukan hanya pembawa wahyu, tapi juga pembaharu sosial. Di masa ketika suku, kasta, dan kelas menjadi sumber kebanggaan dan penindasan, beliau membongkar semuanya. Dalam khutbah perpisahannya, beliau bersabda:
“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu satu dan bapakmu satu. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, dan tidak pula bagi non-Arab atas Arab, tidak pula bagi yang berkulit putih atas yang hitam, atau sebaliknya, kecuali dengan takwa.”(HR. Ahmad dan Baihaqi)
Ini adalah revolusi sosial terbesar dalam sejarah umat manusia. Konsep kesetaraan tidak hanya diajarkan, tapi juga dipraktikkan. Bilal bin Rabah, seorang mantan budak berkulit hitam, menjadi muazin pertama. Salman al-Farisi, seorang Persia, menjadi bagian inti dari strategi politik dan militer umat Islam. Tak ada kasta, hanya amanah.
Budaya Modern: Setara di Kata, Tapi Tidak di Rasa
Ironisnya, dunia modern yang sering mengklaim menjunjung tinggi “equal rights” atau “hak asasi manusia,” justru sering memperkuat ilusi perbedaan dalam bentuk baru: status sosial, algoritma popularitas, ekonomi, hingga simbol-simbol gaya hidup. Setara di konstitusi, tapi timpang dalam sistem.
Cendekiawan Muslim kontemporer, Prof. Syed Hussein Alatas, menyebut ini sebagai rasisme simbolik—bentuk diskriminasi yang tidak selalu vulgar, tetapi tetap menempatkan manusia dalam hierarki tersembunyi: siapa yang layak tampil, layak bicara, layak dihormati.
Menjadi Manusia dengan Kemanusiaan
Membongkar ilusi perbedaan adalah tugas iman dan akal. Kita harus menyadari bahwa setiap kali merasa lebih mulia karena warna kulit, suku, atau status, kita sedang meniru Iblis yang menolak tunduk karena kesombongan asal-usul.
Sebaliknya, Islam menuntun kita untuk melihat manusia dengan mata hati, bukan kacamata prasangka. Karena di hadapan Allah, yang berbicara bukan asal-muasal, tetapi keikhlasan:
> “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian, tapi Dia melihat pada hati dan amal kalian.”(HR. Muslim)
Maka, jadilah bagian dari perubahan. Singkirkan superioritas sosial, dan bangun solidaritas spiritual. Karena hanya dengan begitu, kita bisa kembali menjadi manusia seutuhnya—sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan yang menciptakan kita semua setara.(emha)