ppmindonesi.com.Jakara – Dalam dinamika kehidupan beragama, sering kali kita menjumpai orang-orang yang menjalankan ajaran Islam sebatas ikut-ikutan. Mereka menjalani ibadah karena orang tua mengajarkan demikian, karena lingkungan menuntut demikian, atau karena kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Namun, Al-Qur’an mengingatkan kita bahwa kualitas keislaman tidak terletak pada gerak tubuh semata, melainkan pada kesadaran penuh yang lahir dari ilmu dan penghayatan.
Dalam Qur’an Surah Al-Isra’ (17:36) ditegaskan:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui ilmunya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
Ayat ini bukan sekadar larangan, tetapi juga seruan untuk menjadikan ilmu sebagai landasan iman. Sebab, iman yang hanya didorong oleh ikut-ikutan (taqlid) mudah rapuh ketika diterpa ujian. Seperti tergambar dalam Qur’an Surah Al-Hajj (22:11):
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّعْبُدُ اللّٰهَ عَلٰى حَرْفٍۚ فَاِنْ اَصَابَهٗ خَيْرُ ࣙاطْمَـَٔنَّ بِهٖۚ وَاِنْ اَصَابَتْهُ فِتْنَةُ ࣙانْقَلَبَ عَلٰى وَجْهِهٖۗ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةَۗ ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ ١١
“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah di tepi; maka jika dia memperoleh kebaikan, tetaplah dia dalam keadaan itu. Tetapi jika dia ditimpa cobaan, berbaliklah dia ke belakang. Ruginyalah dia di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.”
Ibnu Qayyim al-Jawziyah pernah berpesan, “Agama ini dibangun di atas ilmu. Barang siapa beribadah tanpa ilmu, maka ia lebih banyak merusak daripada memperbaiki.” Pesan ini menegaskan bahwa penghayatan iman tanpa pemahaman yang benar bisa menjerumuskan seseorang ke dalam formalitas yang kosong makna.
Lebih jauh, Qur’an Surah Al-Jinn (72:14) memberikan kriteria bagi mereka yang benar-benar berserah diri kepada Allah:
وَّاَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُوْنَ وَمِنَّا الْقٰسِطُوْنَۗ فَمَنْ اَسْلَمَ فَاُولٰۤىِٕكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا ١٤
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang berserah diri, dan di antara kami ada pula orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang berserah diri, maka mereka itulah yang telah mencari petunjuk dengan kesadaran.” (taharrāu rasyadā)
Kata taharrāu rasyadā mengandung makna penting: mencari kebenaran dengan kesadaran yang merdeka, bukan karena paksaan tradisi atau ikut-ikutan masyarakat.
Di tengah derasnya arus informasi dan derasnya budaya populer yang kadang membungkus agama dengan cara-cara seremonial, pesan ini menjadi relevan: seorang muslim sejati adalah mereka yang mencari petunjuk dengan ilmu, mengerti apa yang diyakininya, dan menjalaninya dengan kesadaran penuh.
Dalam ceramahnya, Muhammad Abduh, salah satu pembaharu pemikiran Islam, pernah menyindir keras budaya ikut-ikutan: “Kebanyakan manusia hanya mewarisi keyakinan tanpa pernah mengujinya. Padahal Allah memuliakan manusia dengan akal dan hati untuk memahami kebenaran.”
Maka, tugas kita bukan hanya mengikuti ritual yang diwariskan, tetapi juga memaknai dan memahami ajaran agama dengan ilmu. Dengan begitu, iman kita tidak mudah goyah, dan kita bisa meraih keleluasaan dan ketenangan seperti yang dijanjikan dalam Qur’an Surah Az-Zumar (39:34–35) dan Fussilat (41:30–31):
“Bagi mereka apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Itulah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik. Agar Allah menghapuskan dari mereka seburuk-buruk apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Beragama dengan ilmu adalah tanda bahwa kita telah memerdekakan kesadaran, menjadikan iman sebagai pilihan sadar, bukan sekadar warisan. Dan hanya dengan cara itulah kita bisa menjadi muslim sejati: kokoh dalam iman, jernih dalam pikiran, dan lapang dalam menghadapi ujian hidup.(husni fahro)
* Husni Fahro; peminat kajian Nasionalis Religius dan solidarits sosial, alumni IAIN Sumatera Utara tinggal di Bogor.