ppmindonesia.com.Bekasi – Di sebuah aula sederhana Islamic Center Bekasi, puluhan peserta dari berbagai penjuru daerah berkumpul dalam suasana yang hangat dan akrab. Bukan sekadar untuk mendengar ceramah atau menambah pengetahuan, tapi untuk menanam gagasan—gagasan tentang masa depan komunitas, dakwah yang membumi, dan mimpi tentang kemandirian sosial ekonomi.
Itulah semangat yang terasa dalam Pelatihan Kader Dakwah Bil Hal yang diselenggarakan oleh Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) pada 5 – 6 Juli 2025. Pelatihan ini bukanlah forum formal biasa. Ia adalah ruang dialog, laboratorium ide, tempat bertemunya harapan-harapan kecil dengan strategi besar.
Dari Pertanyaan Eksistensial ke Aksi Kolektif
Sesi awal pelatihan dibuka oleh Depri Cane Nasution, tokoh senior PPM yang dikenal dengan gaya bicara reflektif dan membumi. Ia tidak mengutip teori-teori berat. Justru, ia mengajak peserta berpikir ulang: Untuk apa kita di dunia ini? Apa yang akan kita lakukan esok?
Pertanyaan itu seperti cermin. Ia mengharuskan peserta menoleh pada diri sendiri sebelum menoleh pada masyarakat.
Salah satu peserta menyahut, “Saya ingin hidup sehat, mandiri, dan tidak merepotkan orang lain di masa tua.” Lainnya menambahkan, “Saya ingin membangun usaha kecil agar bisa menghidupi keluarga.” Jawaban-jawaban itu sederhana, tapi menyimpan satu benang merah: keinginan untuk berdikari dan berguna.
Dakwah Bil Hal: Dari Pidato ke Pemberdayaan
Tak lama kemudian, suasana ruang pelatihan berubah menjadi forum terbuka. Peserta mulai menyampaikan mimpi dan inisiatif mereka. Ada yang ingin mengembangkan usaha baju online. Ada yang berencana membentuk Badan Usaha Milik Sekolah (BUMS) untuk memberi makan sehat kepada siswa. Ada pula yang ingin membentuk pesantren yang tidak hanya mengajarkan hafalan Qur’an, tetapi juga keterampilan hidup seperti beternak, bertani, dan berwirausaha.
Dalam semangat Dakwah Bil Hal, pelatihan ini menegaskan bahwa dakwah tak melulu soal khutbah dan ceramah. Dakwah bisa dilakukan dengan cara membuka lapangan kerja, membantu tetangga belajar bertani organik, atau mendirikan koperasi kecil di kampung. Dakwah bukan hanya menyampaikan, tapi menghadirkan solusi.
Mas Parito, fasilitator lainnya, menekankan pentingnya membuat rencana tindak lanjut yang konkret. Ia meminta peserta menyusun “tabel aksi”, berisi gagasan yang akan dikembangkan di daerah masing-masing: mulai dari jenis kegiatan, lokasi, mitra, hingga kebutuhan pelatihan atau pembiayaan.
“Kalau mau memanen kemandirian, kita harus mulai menanam gagasan dari sekarang,” ujarnya. “Dan gagasan itu harus dirawat dalam kelompok, komunitas, bukan sendirian.”
Komunitas sebagai Kunci
Salah satu ciri khas pelatihan ini adalah pendekatan berbasis komunitas. Peserta dikelompokkan berdasarkan asal wilayah atau minat usaha. Dari Karawang misalnya, hadir tujuh orang yang memiliki minat mengembangkan pertanian cabai. Dari Depok, peserta datang dengan latar belakang pendidikan dan ingin mengembangkan model pesantren berbasis pemberdayaan.
Dengan pendekatan ini, pelatihan tidak lagi bersifat satu arah. Ia menjadi ruang kolaborasi. Peserta tidak hanya belajar dari narasumber, tetapi juga dari pengalaman satu sama lain.
Karena dalam pemberdayaan, komunitas adalah tulang punggung. Tanpa komunitas, gagasan sering kali mati muda. Tapi dengan dukungan kelompok, gagasan bisa tumbuh menjadi gerakan.
Dari Pelatihan ke Perubahan
PPM telah lama dikenal sebagai organisasi yang mengedepankan pendidikan rakyat dan dakwah transformatif. Dalam pelatihan ini, PPM kembali menunjukkan bahwa proses kaderisasi bukan soal mencetak pemimpin dengan gelar, tapi memunculkan penggerak yang memahami medan, bekerja dari bawah, dan punya komitmen jangka panjang.
Pelatihan ini menjadi contoh bahwa membangun masyarakat tidak bisa instan. Ia dimulai dari proses pengenalan diri, perumusan masalah lokal, hingga penyusunan rencana kerja yang kontekstual. Dan yang terpenting: dengan kesadaran bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil.
Menyemai Masa Depan
Ketika pelatihan usai, peserta tidak pulang membawa sertifikat kosong makna. Mereka membawa tugas: menindaklanjuti gagasan yang telah ditanam bersama, menyusun strategi lokal, dan menggalang dukungan dari komunitas masing-masing.
Apakah semua rencana itu akan berhasil? Belum tentu. Tapi seperti halnya petani yang menanam benih di tanah tandus, para kader PPM percaya bahwa kemandirian sosial dan ekonomi bisa tumbuh dari mana saja—asal dirawat dengan tekad, ilmu, dan kerja kolektif.
Dan di sanalah letak harapan: bahwa dari gagasan-gagasan yang ditanam di aula itu, akan tumbuh pohon-pohon perubahan yang kelak memayungi umat, memakmurkan tanah, dan menjadi amal nyata dari dakwah yang hidup di tengah masyarakat. (emha)