ppmindonesia.com.Bekasi – “Untuk apa kita berada di dunia ini?” Pertanyaan itu bergema di ruangan aula Islamic Center Bekasi, Sabtu pagi, 6Juli 2025. Disampaikan bukan oleh seorang filsuf atau agamawan yang bicara dari mimbar tinggi, melainkan oleh seorang pembicara sederhana yang berbicara jujur dari hati—Depri Cane Nasution, tokoh senior Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), dalam Pelatihan Kader Dakwah Bil Hal.
Pertanyaan itu bukan untuk dijawab secara teoritis. Ia dilempar ke udara agar jatuh di hati tiap peserta, yang datang dari berbagai pelosok: Karawang, Sukatani, Depok, Babelan, dan lainnya. Mereka bukan pemimpin partai, bukan pula ulama kondang. Mereka adalah pemuda dan penggerak komunitas lokal, yang ingin tahu: bagaimana berdakwah bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata.
Menjawab dengan Tindakan
Dalam tradisi dakwah, kita terlalu sering membayangkan ceramah di atas mimbar, khutbah di masjid, atau forum pengajian. Dakwah seolah identik dengan suara—bukan dengan kerja. Di sinilah pendekatan Dakwah Bil Hal menjadi pembeda. Ia mengajarkan bahwa berdakwah bisa lewat menanam cabai, membuka warung sehat, mengembangkan BUMDes, hingga mengajarkan keterampilan hidup pada santri dan pelajar miskin.
Depri Cane dan Mas Parito, dua fasilitator utama sesi lokakarya, tak ingin pelatihan ini menjadi rutinitas yang mengawang. Mereka menggiring peserta untuk menjawab pertanyaan eksistensial tadi dengan rencana konkret. Bukan lagi “ingin jadi orang baik”, tapi “apa yang akan saya lakukan sepulang dari sini?”
Gagasan-Gagasan Kecil yang Bermakna
Peserta satu per satu menyampaikan ide. Ada yang ingin mengembangkan usaha pakaian secara daring yang selama ini terbengkalai. Ada yang bercita-cita mendirikan boarding skill—pelatihan asrama bagi anak muda yang tak sempat menikmati pendidikan berkualitas. Ada pula yang ingin membangun pesantren yang menggabungkan hafalan Qur’an dengan keterampilan wirausaha dan pemberdayaan masyarakat.
Tita, peserta muda dari Depok, menyampaikan kegelisahannya melihat pesantren yang stagnan. “Ngaji iya, shalat iya, tapi tidak mau berkembang. Padahal umat harus maju,” ujarnya penuh semangat. Ia bermimpi membangun lembaga pendidikan Islam yang memandirikan santrinya secara spiritual dan sosial. “Jangan sampai umat Islam hanya menjadi objek bantuan,” tambahnya.
Mas Parito menanggapi dengan tenang namun tajam. Ia mengingatkan bahwa kekhalifahan bukan hanya soal kekuasaan dan politik, tapi juga tentang tanggung jawab sosial: menjaga bumi, mengelola sumber daya, dan menghadirkan rahmat bagi semesta.
Dari Retorika ke Musyawarah Aksi
Tak berhenti di gagasan, sesi ini ditutup dengan tugas konkret: peserta diminta menyusun tabel musyawarah aksi. Di situ tercatat komoditas unggulan, lokasi, potensi, hingga masalah yang dihadapi. Misalnya: cabai di Karawang, rumput laut di Babelan, atau rencana pembukaan usaha katering untuk pelajar di Bekasi.
Langkah kecil ini menandai pergeseran penting: dari pelatihan berbasis ceramah ke pelatihan berbasis aksi. Dari konsumsi ilmu ke produksi solusi. Dari mendengar dakwah ke menjadi pelaku dakwah.
Sebuah Pelajaran yang Sederhana Tapi Dalam
“Kita ini khalifah. Tapi kita bukan Tuhan. Kita punya keterbatasan, dan karena itu butuh orang lain. Butuh belajar. Butuh musyawarah,” kata Depri Cane di akhir sesi. Ia mengingatkan bahwa keberhasilan dakwah bukan terletak pada banyaknya kata, tetapi pada kesadaran akan peran: memperbaiki diri, menguatkan keluarga, dan memajukan masyarakat.
Di zaman di mana semua orang ingin viral, pelatihan ini memilih jalan yang lebih sunyi. Jalan yang menantang, tapi membumi: dakwah lewat kerja, lewat kolaborasi, dan lewat aksi nyata.
Pertanyaannya kembali: Untuk apa kita di dunia ini?
Jawabannya, mungkin, telah mulai disusun oleh para kader Dakwah Bil Hal PPM—bukan dengan retorika, melainkan dengan langkah-langkah kecil yang penuh makna.(acank)