Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Jejak Peradaban dari Akar Rumput: Warisan Perjuangan Mas Adi Sasono”

117
×

Jejak Peradaban dari Akar Rumput: Warisan Perjuangan Mas Adi Sasono”

Share this article

Penulis; Habib Chirzin| Editor: Asyary

Adi Sasono (tokoh gerakan pemberdayaan masyarakat Indonesia), Habib Chirzin (intelektual Muslim dan aktivis kemanusiaan), bersama Anwar Ibrahim (Perdana Menteri Malaysia saat ini), tengah menghadiri sebuah seminar strategis yang mempertemukan gagasan dan semangat perubahan lintas negara. Ketiganya dikenal sebagai sahabat seperjuangan yang menjunjung tinggi nilai keadilan sosial, demokrasi, dan peradaban Islam yang rahmatan lil 'alamin (foto doc.hc)

Melintasi Zaman Bersama Mas Adi: Kisah Panjang Perjuangan dan Persaudaraan”

Oleh; Habib Chirzin

ppmindonesia.com. MagelangMas Adi Sasono, orang pergerakan yang tak kenal lelah itu, telah pergi. Namun, semangat dan keteladanannya akan tetap hidup, menginspirasi kita semua.

Terakhir kali kami bertemu dengan Mas Adi adalah pada saat pernikahan anak kami, Fikri Arief dengan Aulia Arifah, di Kampus Dharma Persada, Jakarta, pada 27 Juni 2016. Saat itu Mas Adi hadir bersama sejumlah sahabat, di antaranya Mas Jimly, Pak Siddik, Ambassador Abdullah Syarwani, Mas Hadimulyo, Prof. Uswatun, Mas Nashihin Hassan, Prof. Dato’ Dr. Jamil Osman, Prof. Shayaa Othman, Bro Shahran Kasim, dan lainnya.

Meskipun telah cukup lama berjuang melawan kanker, Mas Adi tetap tampak tegap, segar, dan penuh semangat. Kehadirannya, bersama para sahabat lainnya, membawa kebahagiaan dan menjadi kenangan manis yang selalu kami syukuri

Pergerakan memerlukan jejaring, baik di tingkat nasional maupun regional.

Pada awal tahun 1984, kami bersama Mas Adi Sasono, Mas Ali Mustofa Trajutisna, Mas Yuswanto, Mas Hadimulyo, KH Muntaha, Dr. H. Kusnadi, serta kawan-kawan aktivis LSM dan para da’i di berbagai daerah, merintis dan mendirikan sebuah jejaring nasional bernama Pusat Peran Serta Masyarakat (PPM). Jejaring ini lahir di Mess Wara, Kaliurang, sebagai hasil dari pertemuan dan kesadaran kolektif tentang pentingnya memperkuat peran masyarakat dalam pembangunan.

Kegiatan pendirian PPM diawali dengan Pelatihan Da’i Pembangunan, sebuah program yang didukung oleh Departemen Agama (Depag) dan Rabithah al-‘Alam al-Islami, dan dihadiri pula oleh Ketua Perwakilan Rabithah di Indonesia saat itu, Prof. Dr. Muhammad Rasyidi. Sejak itu, PPM menjadi rumah bersama bagi para aktivis, da’i, dan pegiat pemberdayaan yang dicintai oleh Mas Adi hingga akhir hayatnya.

Bahkan menjelang akhir hidupnya, Mas Adi masih menunjukkan perhatian besar terhadap PPM. Beliau masih sempat mengundang kawan-kawan PPM untuk berkumpul dan berdiskusi di kantornya di kawasan Menara BNI 1946. Jejak pengabdiannya melalui PPM menjadi salah satu warisan berharga yang akan terus dikenang dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya.

Dalam sebuah acara, Adi Sasono tampak berbincang dengan ramah dan santun, mencerminkan kepribadiannya yang supel, hangat, dan senantiasa melayani siapa pun tanpa memandang situasi atau posisi. (foto.doc.hc)

“Pemberdayaan Akar Rumput dan Jejaring Global: Kisah dari P3M hingga Sri Lanka”

Pergerakan pendidikan dan pengembangan masyarakat akar rumput, yang berbasis pada lembaga-lembaga pendidikan pribumi seperti pondok-pondok pesantren, melahirkan gagasan untuk mendirikan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Pak Ud (KH Yusuf Hasyim), KH Sahal Mahfudz, Gus Dur, Mas Adi Sasono, Mas Dawam Rahardjo, Mas Soetjipto Wirosardjono, Utomo Dananjaya, Tuty Alawiyah, bersama kawan-kawan aktivis LSM lainnya, bahu-membahu bekerja sama dengan pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Program kerja sama ini melahirkan berbagai inisiatif penting: pelatihan, penelitian, penerbitan, penerapan teknologi tepat guna, pelestarian lingkungan hidup, pemberdayaan perempuan dalam pembangunan, kesehatan reproduksi, dan masih banyak lagi.

Pada awal tahun 1984, saya berkesempatan memimpin rombongan para ulama Indonesia untuk sebuah Dialog Agama dan Pembangunan di Sri Lanka. Rombongan kami terdiri dari KH Sahal Mahfudz (Pesantren Maslakul Huda, Kajen), KH Dudung Abdul Halim (Pesantren Cipasung), KH Syahiduddin (Pesantren Darul Qolam Gintung, Tangerang), dan KH Usep Fathuddin (Departemen Agama, Mathla’ul Anwar, Banten).

Di Sri Lanka, kami berdialog dan bertukar pengalaman dengan berbagai lembaga pengembangan masyarakat ternama, antara lain Sarvodaya Shramadana Sangamaya yang dipimpin oleh Dr. A.T. Ariyaratne, lembaga Center of Asian Theology and Society, Marga Institute yang dipimpin oleh Dr. Godfrey Gunatilleke (yang kemudian menjadi Ketua Komnas HAM Sri Lanka), serta Dr. Mazahem Mohideen. Kami juga sempat berkunjung dan berdiskusi di Islamic Secretariat di Fareed Lane, Bambalapitiya, Colombo 7.

Saat itu, konflik bersenjata dengan kelompok Tamil Eelam masih berkecamuk. Rombongan kami turut mengambil bagian dalam Peace Walk, bersama para pemuka agama dari berbagai negara, yang kemudian berlanjut dengan seruan National Reconciliation oleh Presiden J.R. Jayewardene di gedung Parlemen Sri Lanka.

Setelah kunjungan tersebut, saya masih sempat kembali dua kali ke Sri Lanka untuk memperkuat jejaring dan kerja sama yang telah terjalin.

Pemberdayaan yang Melampaui Batas: Dari Pesantren hingga Forum Internasional”

Pergerakan dan pemberdayaan masyarakat tidak hanya membutuhkan kerja-kerja lapangan, tetapi juga memerlukan gerakan advokasi kebijakan di tingkat internasional (International Policy Advocacy).

Ketika INGI (International NGOs on IGGI), yang kemudian berganti nama menjadi INFID (International NGOs Forum on Indonesian Development), didirikan pada musim panas tahun 1985 di Amsterdam, Mas Adi Sasono bersama Mas Dawam Rahardjo, Gus Dur, Bang Buyung Nasution, Pak Yap Thiam Hien, Pater Danu Winata, Mulya Lubis, dan Abdul Hakim Garuda Nusantara diundang ke Tropen Institute, Amsterdam.

Saya sendiri hadir bersama Mas M.M. Billah, karena saat itu kami bertugas sebagai konsultan sekaligus perwakilan NOVIB di Indonesia. Setelah itu, Mas Adi aktif mengikuti konferensi-konferensi tahunan INGI dan kemudian INFID, di Scheveningen dan Brussel, dengan menyajikan hasil-hasil penelitian, terutama yang ia lakukan bersama Dr. Sri Tua Arief.

Sebagai anggota INFID Indonesian Steering Committee, saya juga terus menghadiri konferensi-konferensi tahunan di berbagai kota dunia, antara lain Berlin dan Bonn, Paris, Washington DC, Canberra, dan pernah pula sekali di Lembang.

Kehadiran Mas Adi dalam forum-forum internasional itu memperkuat posisi advokasi masyarakat sipil Indonesia di mata dunia, dengan menyuarakan isu-isu pembangunan yang berkeadilan dan berpihak pada rakyat kecil.

Meniti Jejak Diplomasi Sipil: Dari NGOs UN Forum hingga World Peace Summit di PBB

Ketika Indonesian NGOs and the United Nations Forum (NGOs UN Forum) dibentuk pada sekitar tahun 1986, dengan ketua Ibu Kardinah Soepardjo Rustam, serta didukung oleh Mas Soetjipto Wirosardjono, Mas Bambang Ismawan, dan lain-lain, Mas Adi Sasono juga aktif terlibat di dalamnya.

Pada kesempatan pertama diundang ke Amerika Serikat pada tahun 1987, saya sempat singgah ke markas besar PBB di Manhattan, New York — sebuah tempat yang selama ini sudah cukup akrab bagi saya karena sering bekerja sama dengan perwakilan PBB di Jakarta, khususnya UNDP, yang saat itu dikepalai oleh Dr. Galal Magdi dari Mesir.

Barangkali karena keterlibatan saya dalam berbagai kegiatan dengan lembaga-lembaga PBB, saya kemudian beberapa kali diundang untuk menghadiri pertemuan di markas besar PBB, menjelang Sidang Umum PBB: pada tahun 1992, 1997, dan dua kali pada tahun 2000, bertepatan dengan United Nations Summit.

Pada kesempatan UN Summit tersebut, saya bersama istri saya, Hindun Fauziah, mendapat kehormatan diundang berdua untuk menghadiri The World Peace Summit of the Religious and Spiritual Leaders in the United Nations, sebuah forum penting dalam rangka pembentukan UN Council of the Religious and Spiritual Leaders.

Jejak Mas Adi di UNU dan SEAFDA: Merawat Gerakan Alternatif

Pergerakan pembangunan alternatif di kawasan Asia Tenggara, yang berbasis di sejumlah perguruan tinggi terkemuka, telah melahirkan jejaring kerja sama penelitian yang kuat dalam kerangka United Nations University (UNU).

Beberapa kampus yang menjadi poros gerakan ini antara lain UP Diliman, Ateneo de Manila, Chulalongkorn dan Thammasat di Thailand; ITB dan Satya Wacana di Indonesia; USM (Universiti Sains Malaysia), UM (Universiti Malaya), dan NUS (National University of Singapore). Forum UNU saat itu dipimpin oleh Rektor Dr. Soedjatmoko (Pak Koko), dengan Mas Adi Sasono sebagai salah satu co-coordinator, bersama tokoh-tokoh lain seperti Mas Arief Budiman dan Mas Sri Tua Arief.

Selain itu, Mas Adi juga menjadi co-coordinator jejaring regional SEAFDA (South East Asia Forum for the Alternative Development), yang didukung terutama oleh Third World Studies Center, UP Diliman, bersama para aktivis pergerakan lainnya: Randy David, Edmundo Garcia, dan Boying Bautista (Ateneo de Manila); Jomo K. Sundaram (Universiti Malaya, kini di UNDP); serta dua ekonom dari Chulalongkorn, Bangkok — Surichai Wan Gaeo dan Suthi Prasetsart.

Sampai sekarang saya masih menjaga hubungan dengan lapisan kedua dan generasi penerus gerakan ini, seperti Tony Quezon dan Tony Lavina dari Ateneo de Manila (yang juga menjadi tempat belajar Mas Hadimulyo). Saya bahkan masih sempat bersama Prof. Suthi Prasetsart di Vietnam, serta Prof. Surichai Wan Gaeo di Jepang dan Thailand, untuk melanjutkan semangat dan cita-cita gerakan yang dahulu diperjuangkan Mas Adi Sasono.

Membangun Masyarakat Ilmu dari Akar Rumput: Dari IPRA hingga Wakaf Buku

Pergerakan pembangunan alternatif — yang anti ketergantungan, anti utang, dan menekankan pembangunan kerakyatan yang partisipatif — juga bertaut erat dengan gerakan serupa di Amerika Latin, Eropa, dan Afrika.

Gerakan ini banyak dipengaruhi pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Fernando Henrique Cardoso, Andre Gunder Frank, Theotonio dos Santos, Immanuel Wallerstein, Johan Galtung, dan Samir Amin. Saya berkesempatan bertemu langsung dengan Johan Galtung, serta Kenneth dan Elise Boulding, pada 25th Anniversary Conference International Peace Research Association (IPRA) di Groningen University, Belanda, pada tahun 1990.

Semangat pergerakan tersebut terus kami lanjutkan dalam bentuk nyata melalui Gerakan Wakaf Buku dan Pengembangan Masyarakat, yang diinisiasi di Majelis Pengurus Pusat ICMI bersama Mas Adi Sasono, Mas Dody Yudhista, dan Mas Priyo Budi Santosa sebagai sekretaris. Kami menggelar jambore buku di berbagai kota — antara lain di Pekanbaru, Padang, Sukabumi, dan lainnya.

Gerakan Wakaf Buku dan Pengembangan Masyarakat ini sesungguhnya merupakan langkah strategis dalam upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan membangun masyarakat ilmu (knowledge society) hingga ke lapisan akar rumput.

Adi Sasono, Habib Chirzin, Jimly Asshiddiqie, dan B.J. Habibie dalam satu momen kebersamaan pada sebuah acara kenegaraan, mencerminkan sinergi antara pemikir, aktivis, dan negarawan (foto doc.hc)

Menggagas Forum Cendekiawan Muslim Internasional untuk Sains dan Teknologi

Pergerakan cendekiawan Muslim yang berkembang di berbagai negara mendorong Pak Habibie untuk membentuk sebuah forum kerja sama internasional dalam pengembangan sains dan teknologi, sebagaimana diamanatkan oleh Konferensi Internasional Haiah I’jaz Al-Qur’an fi al-‘Ilmi wa al-Taqanah (The International Movement on the Miracle of Al-Qur’an in the Sciences and Technology) yang diselenggarakan di IPTN, Bandung, pada tahun 1994.

Dalam sebuah rapat di kantor BPPT yang dipimpin oleh Mas Adi Sasono, diputuskan untuk mengirim utusan ke Jeddah untuk berunding dengan sejumlah lembaga Islam internasional. Maka berangkatlah kami bertiga: Bang Imad (Dr. Ir. Imaduddin Abdurrahim), Mas Jimly (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie), dan saya sendiri.

Di Jeddah, kami melakukan pertemuan dengan berbagai institusi, antara lain Rabithah al-‘Alam al-Islami, Islamic Development Bank (IDB), World Assembly of Muslim Youth (WAMY), The International Institute of Islamic Thought (IIIT), dan lainnya.

Saya mendapat amanat dari rapat untuk menyusun Draft Charter (Piagam Dasar) pendirian IIFTIHAR (The International Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development), yang kemudian kami bahas bersama di kantor IDB, Jeddah.

Menjahit Jejaring Global: Penandatanganan IIFTIHAR di IDB”

Pergerakan baru yang bernama IIFTIHAR (The International Islamic Forum for Sciences, Technology and Human Resources Development) akhirnya secara resmi disepakati dan ditandatangani pada bulan Juni 1996 di kantor Islamic Development Bank (IDB), Jeddah.

Penandatanganan dilakukan oleh sejumlah tokoh utama: Pak Habibie (Ketua ICMI), Dr. Ahmed Mohammed Ali (Presiden IDB), Dr. Ahmad Totonji (Sekretaris Jenderal IIIT), Dr. Maneh Al Johani (Sekretaris Jenderal WAMY), dan Prof. Mustafa (mewakili Al Manar), serta beberapa perwakilan lembaga Islam internasional lainnya.

Pada saat itu, Sekretaris Jenderal Rabithah al-‘Alam al-Islami, Dr. Abdullah Sholeh al-Obaid, belum bersedia menandatangani karena masih perlu melakukan konsultasi internal. Beliau baru menyusul menandatangani pada pertemuan berikutnya di Jakarta tahun 1997.

Selain Mas Adi Sasono sebagai Sekjen ICMI, sejumlah tokoh Indonesia juga hadir dalam penandatanganan pendirian IIFTIHAR di Jeddah, antara lain:

Dr. Ir. Imaduddin Abdurrahim, Dr. H.M. Amien Rais, Prof. Dr. H.M. Dawam Rahardjo, Drs. Lukman Harun, Dr. Ahmad Watik Pratiknya, Dr. Muhammad Thahir, Dr. Marwah Daud Ibrahim, Dr. Jimly Asshiddiqie, Tatat Rahmita Utami, dan lain-lain. Bapak Mohammad Siddik dan Ustadz Fadhol Arovah Maryadi juga hadir karena saat itu bekerja di IDB.

Sepulang dari Jeddah, dalam rapat di Jakarta yang dipimpin oleh Mas Adi Sasono, saya diberi amanah untuk menjabat sebagai Executive Director IIFTIHAR, yang berkantor di Gedung BPPT 1, lantai 6, Jalan Thamrin, Jakarta. Tugas ini saya emban dari tahun 1996 hingga 2002.

Menggerakkan IIFTIHAR: Mas Adi Sasono dan Komite Eksekutif

Sebagai sebuah pergerakan internasional, IIFTIHAR membentuk Executive Committee yang beranggotakan tokoh-tokoh penting dunia Islam dan ilmuwan dari berbagai negara.

Komite ini diketuai oleh Pak Habibie, dengan anggota-anggota utama: Dr. Necmettin Erbakan, Dr. Ahmad Mohammad Ali, Dr. Abdul Hamid AbuSulayman, Dr. Dato’ Seri Anwar Ibrahim, Letjen Ahmad Tirto Sudiro, dan Dr. Ahmad Totonji. Sekretaris Jenderal dijabat oleh Dr. Jimly Asshiddiqie, yang kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Zuhal.

Anggota lainnya berasal dari berbagai belahan dunia, antara lain:

  • Dr. Surin Pitsuwan (Sekjen ASEAN)
  • Prof. Ibrahim Badran (Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Mesir)
  • Prof. Ibrahim Ahmad Omar (Menteri Pendidikan Sudan)
  • Prof. Shamseer Ali (BATAN, Bangladesh)
  • Prof. Mahdi Adamu (Rektor IIU Nigeria)
  • Dr. Ibrahim (Jerman)
  • Dr. Siddiq Backley (Australia)
  • serta dua rektor universitas dari Iran dan India.

Selain mengikuti rapat-rapat Executive Committee di BPPT, saya juga kerap menemani para anggota komite ini berkunjung ke berbagai pusat industri dan penelitian di Indonesia, seperti IPTN, Pindad, LEN, PT INTI, dan Puspiptek Serpong.

Dalam berbagai kegiatan IIFTIHAR, Mas Adi Sasono tampil sebagai penggerak yang tidak kenal lelah, penuh semangat, dan selalu membangkitkan energi kolektif. Saya pribadi sangat banyak belajar dari keteladanan dan dedikasi beliau.

 

Adi Sasono menghadiri resepsi pernikahan, menunjukkan sikap egaliter dan kepeduliannya dalam menjalin silaturahmi di tengah masyarakat. (foto doc.hc)

Pergerakan ekonomi kerakyatan, gerakan koperasi, pembangunan alternatif yang partisipatif, gerakan wakaf buku, gerakan ekonomi serantau, gerakan dakwah pembangunan, dan sederet pergerakan kerakyatan lainnya — semua adalah jejak-jejak langkah Mas Adi yang menjadi panggilan bagi kita semua untuk terus dilanjutkan dan dikembangkan.

Selamat jalan, Mas Adi. Semangatmu akan terus menyala di hati kami, menjadi pelita yang tak padam bagi generasi sesudahmu. Doa kami menyertai keberangkatanmu menuju Jannatin Na‘īm.

اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه

(Allahummaghfirlahu warhamhu, wa ‘āfihi, wa‘fu ‘anhu)

Ya Allah, ampunilah beliau, rahmatilah beliau, sejahterakanlah beliau, dan maafkanlah segala khilafnya.

  • M Habib Chirzin;  Intelektual Muslim dan aktivis kemanusiaan, Presidium Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional 1994 – 1998, sebagai mentor dan guru bagi para aktifis Pusat Peranserta Masyarakat (PPM)
Example 120x600