Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Ketahanan Pangan, Perempuan, dan Keluarga

81
×

Ketahanan Pangan, Perempuan, dan Keluarga

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

Menik Soemarnoh, senior PPM dan lulusan IPB, memaparkan urgensi ketahanan pangan berkelanjutan berbasis keluarga. tema Pelatihan Kader Dkwah Bil Hal 5 juli 2025 (foto doc.ppm)

ppmindonesia.com.Bekasi – Di tengah isu global tentang krisis pangan, perubahan iklim, dan ketimpangan ekonomi, Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) kembali menegaskan pentingnya pendekatan dakwah yang membumi—yakni dakwah bil hal. Dalam Pelatihan Kader Dakwah Bil Hal yang digelar pada 5–6 Juli 2025 di Islamic Center, para kader muda dibekali bukan hanya dengan pemahaman nilai-nilai Islam, tetapi juga dengan keterampilan praktis dalam memberdayakan masyarakat, termasuk soal ketahanan pangan, kewirausahaan sosial, dan keadilan ekologis.

Salah satu sesi penting dalam pelatihan ini adalah paparan Menik Soemarnoh, perempuan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang dikenal sebagai “perempuan panggilan” dalam urusan energi terbarukan dan ketahanan pangan. Dengan mengusung tema “Ketahanan Pangan Berkelanjutan”, Menik menyentuh akar persoalan: bahwa pangan bukan sekadar urusan produksi, tetapi juga distribusi, pengelolaan, dan keberpihakan pada keluarga sebagai basis ketahanan sejati.

“Ketahanan pangan tidak cukup hanya dengan bisa panen. Di desa, orang bisa memetik dari kebun. Tapi di kota, semua harus dibeli. Maka sistem distribusi dan peran UMKM serta koperasi menjadi sangat penting,” ungkap Menik. Ia menekankan pentingnya sinergi antara produksi lokal dan sistem dukungannya, termasuk pelatihan manajemen keluarga dan penguatan peran gender dalam penyediaan pangan rumah tangga.

Diskusi pun berkembang kritis. Mahdi Salman Faris , salah satu peserta, menyoroti bagaimana Indonesia yang kaya akan pakar dan kebijakan pangan justru masih mengalami ketimpangan distribusi dan ketergantungan impor. Sebuah ironi lama yang belum juga tuntas.

Usup Supriyatna, Ketua Koperasi Mina Agro Makmur, juga mengisi pelatihan dengan semangat “caring and sharing” yang ia warisi dari tokoh Ali Mustofa Yaqub. Dalam sesi bertajuk “Dari Jaring Ikan ke Jaring Kesejahteraan”, Usup menyoal ironi negeri maritim dan agraris seperti Indonesia yang justru masih mengimpor garam dan beras.

“Masyarakat pesisir kita masih miskin. Tapi laut kita kaya. Masalahnya bukan sumber daya, tapi cara kita mengelola dan memberdayakan,” tegas Usup. Lewat koperasi, ia membangun rantai nilai yang melibatkan nelayan, pengolah, dan pemasar. Salah satu inovasinya: mie rumput laut dan pupuk cair Samuko yang dikembangkan dari rumput laut lokal—menghubungkan laut, pangan, dan pertanian dalam satu ekosistem pemberdayaan.

Namun tantangan tetap ada. Mahdi kembali angkat bicara, mempertanyakan soal kepemilikan lahan pantai dan akses masyarakat terhadap sumber daya laut. Usup menjawab, pengkaplingan laut memang dilarang UU, tapi koperasi dan kelembagaan fungsional bisa jadi jembatan kolaboratif antara masyarakat dan negara.

Di balik semua diskusi dan praktik baik itu, PPM ingin menegaskan bahwa wajah Islam yang solutif bukan terletak pada simbol, tapi pada aksi nyata. Pelatihan ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan adalah urusan spiritual dan sosial sekaligus. Perempuan memegang peran sentral, keluarga menjadi basis kekuatan, dan komunitas lokal menjadi garda depan perubahan.

Dakwah tidak hanya berbicara dari mimbar, tetapi turun ke lumpur sawah, menebar benih, menarik jaring, dan mendistribusikan hasil. Inilah dakwah yang dirindukan zaman. Dakwah yang menghidupkan, bukan menghakimi. Dakwah yang memberdayakan, bukan menakut-nakuti.

Karena sejatinya, keberkahan tidak datang dari langit semata. Ia tumbuh di tanah yang diolah dengan kerja keras, niat baik, dan keyakinan bahwa Allah bersama mereka yang sungguh-sungguh berikhtiar.(acank)

Example 120x600