ppmindonesia.com.Jakarta – Ada satu penyakit jiwa yang menjalar begitu halus, tak terlihat oleh mata, namun menggerogoti ketenangan batin secara perlahan: kurang bersyukur. Dalam dunia yang bergerak cepat, penuh persaingan dan ilusi pencapaian, banyak orang tak menyadari bahwa luka terdalam dalam hidup mereka seringkali bukan karena kurangnya harta, tapi karena kurangnya rasa cukup.
Kita hidup di tengah arus informasi yang terus menampilkan keberlimpahan orang lain. Rumah mewah, mobil baru, liburan ke luar negeri, gaya hidup hedonis—semuanya tampak begitu dekat lewat gawai di tangan. Namun di balik itu, kita mulai kehilangan hal paling dasar: rasa syukur atas apa yang kita punya.
Luka dari Jiwa yang Terus Merasa Kurang
Manusia yang tak pandai bersyukur cenderung terus merasa kekurangan, walaupun hartanya berlimpah. Ia haus akan pengakuan, iri terhadap kesuksesan orang lain, dan gelisah bila ada yang melampauinya. Dunia tak pernah cukup. Dan dari situlah muncul luka batin yang tak bisa diobati dengan kekayaan.
Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًاۙ ١٩اِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًاۙ ٢٠وَّاِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًاۙ ٢١
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’arij: 19–21)
Rasa cukup atau qana’ah bukan berarti pasrah atau menolak ikhtiar. Tapi ia adalah penerimaan yang sehat, lapang hati terhadap hasil dari usaha yang halal, dan ketenangan karena yakin bahwa Allah tak pernah menzalimi makhluk-Nya. Orang yang bersyukur tidak membandingkan dirinya dengan dunia, tapi dengan apa yang telah Allah tetapkan baginya.
Cinta Dunia dan Ketakutan Mati
Dalam hadis sahih, Rasulullah SAW memperingatkan:
“Akan datang suatu masa kepada umatku, mereka dikuasai oleh penyakit ‘wahn’. Ditanyakan: ‘Apa itu wahn?’ Beliau menjawab: ‘Cinta dunia dan takut mati.’” (HR. Abu Dawud)
Cinta dunia yang berlebihan membuat seseorang diperbudak oleh keinginan yang tak ada habisnya. Ia hidup dalam tekanan tak kasat mata: harus naik kelas sosial, harus punya barang terbaru, harus lebih dari orang lain. Padahal, ujungnya adalah kecemasan, kelelahan emosional, dan jauh dari ketenangan batin.
Psikolog dan penulis asal Kanada, Jordan Peterson, dalam salah satu kuliahnya mengatakan, “Gratitude is an antidote to resentment.” Rasa syukur adalah penawar bagi kebencian, kekecewaan, dan keputusasaan. Dengan bersyukur, kita berhenti meracuni diri sendiri dengan perbandingan yang menyakitkan.
Syukur yang Nyata: Bukan Hanya di Lisan
Syukur bukan hanya soal ucapan “Alhamdulillah.” Ia harus hadir dalam cara kita memaknai hidup, memandang orang lain, serta dalam kesediaan kita berbagi.
Allah menjanjikan dalam Al-Qur’an:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧
” (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Bersyukur juga berarti mengakui bahwa sebagian dari harta kita adalah titipan. Titipan itu harus disalurkan kepada mereka yang membutuhkan: anak yatim, janda miskin, kaum dhuafa. Karena sejatinya, syukur yang paling jujur adalah memberi, bukan menumpuk.
Sebagaimana disebut dalam QS. Adz-Dzariyat: 19:
وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ ١٩
“Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Ulama besar kontemporer, Syekh Abdurrahman As-Sa’di, menulis dalam tafsirnya bahwa rasa syukur mencakup tiga hal: mengakui nikmat dengan hati, memuji Allah dengan lisan, dan menggunakannya di jalan kebaikan.
Mengobati Luka: Belajar Melihat ke Bawah
Untuk mengobati luka akibat kurang bersyukur, kita harus belajar melihat ke bawah, bukan hanya ke atas. Rasulullah SAW bersabda:
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah darimu dan jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi, karena hal itu akan lebih membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.”(HR. Muslim)
Melihat ke bawah bukan untuk merasa lebih baik, tapi agar hati belajar rendah diri, mengapresiasi nikmat yang kerap luput kita sadari. Rumah yang sederhana, makan yang cukup, keluarga yang mendukung, kesehatan yang stabil—semuanya adalah nikmat besar yang tak bisa diganti dengan materi.
Nikmat Manakah Lagi yang Engkau Ingkari?
Allah mengulang satu ayat dalam surah Ar-Rahman sebanyak 31 kali:
“Fabi ayyi ālā’i rabbikumā tukażżibān?”
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Pertanyaan ini bukan sekadar retoris. Ia adalah teguran, pengingat, sekaligus ajakan untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, dan mulai melihat kembali bahwa hidup ini sesungguhnya telah penuh dengan anugerah. Hanya orang yang bersyukur yang mampu merasakan bahagia, meski dalam kesederhanaan.
Karena dunia ini tak akan pernah cukup bagi hati yang kosong dari syukur.(emha)