Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Khalifah Bukan Penguasa: Tafsir Sosial atas Dakwah dan Pemberdayaan

86
×

Khalifah Bukan Penguasa: Tafsir Sosial atas Dakwah dan Pemberdayaan

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

Sebuah kalimat 'pelan namun tajam' dari fasilitator Depri Cane Nasution menjadi pemantik untuk membongkar pemahaman dogmatis tentang konsep 'khalifah'. (foto.doc.ppm)

ppmindonesia.com.Jakarta – “Kita ini khalifah. Tapi bukan penguasa. Kita pemikul amanah, bukan pemilik segalanya.”

Kalimat itu meluncur pelan namun tajam dari mulut Depri Cane Nasution, fasilitator sekaligus tokoh senior Pusat Peranserta Masyarakat (PPM), dalam sesi lokakarya Pelatihan Kader Dakwah Bil Hal di Islamic Center Bekasi,  5 – 6 Juli 2025.

Di tengah pelatihan yang sarat semangat kolaborasi dan refleksi, para peserta diajak membongkar ulang pemahaman-pemahaman dasar yang selama ini mungkin telah menjadi dogma. Salah satunya adalah tentang istilah “khalifah”.

Selama ini, kata “khalifah” sering diidentikkan dengan kekuasaan. Ia dibayangkan sebagai pemimpin negara Islam, pemegang otoritas tertinggi, atau bahkan simbol dominasi politik. Namun, dalam forum ini, pemahaman itu dibalikkan: khalifah adalah pelayan umat, penjaga bumi, dan penggerak perubahan sosial.

Tafsir Baru dari Lapangan

Pelatihan yang diikuti oleh peserta dari berbagai daerah—Karawang, Depok, Sukatani, Babelan—tidak menghadirkan narasi-narasi teoretis belaka. Justru, dari pengalaman riil peserta, tafsir sosial atas kekhalifahan mengemuka dengan sangat relevan.

Seorang peserta dari komunitas pendidikan misalnya, merancang unit usaha katering bagi pelajar dari kalangan bawah. “Saya ingin mendirikan BUMS—Badan Usaha Milik Sekolah. Kita jual makanan sehat dan murah, sambil mengajarkan keterampilan usaha kepada siswa,” ujarnya.

Yang lain, Tita, peserta muda asal Depok, mengungkap kegelisahan akan lembaga pendidikan Islam yang kurang responsif terhadap persoalan sosial. Ia bermimpi membentuk pesantren plus, yang menggabungkan hafalan Qur’an dengan pelatihan keterampilan dan pemberdayaan masyarakat. “Kita harus maju. Jangan hanya puas dengan ibadah. Umat ini butuh mandiri,” katanya lantang.

Di sinilah letak makna baru dari kata “khalifah”. Bukan siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi siapa yang siap turun tangan: mengurus sampah, menanam cabai, melatih santri menjahit, menghubungkan petani dengan pasar, atau menyusun rencana usaha kecil bersama tetangga.

Dari Ceramah ke Kerja Nyata

Pelatihan PPM secara eksplisit mengusung pendekatan Dakwah Bil Hal—yakni dakwah lewat perbuatan. Sebuah pendekatan yang keluar dari ruang pengajian dan memasuki ruang produksi, dapur rumah tangga, ladang pertanian, dan sekolah kejuruan.

Mas Parito, fasilitator lainnya, menyampaikan dengan jernih: “Kita sudah terlalu lama bicara. Sekarang saatnya kita bekerja.” Ia menutup sesi lokakarya dengan mengajak peserta menyusun tabel aksi: rencana konkret apa yang akan dilakukan di daerah masing-masing setelah pelatihan.

Bukan untuk laporan. Tapi sebagai komitmen. Sebagai janji kecil bahwa dakwah yang mereka pahami tidak lagi berhenti pada ucapan, melainkan bergerak sebagai aksi sosial yang berdampak.

Khalifah dalam Skala Mikro

Tafsir sosial atas kekhalifahan yang dibangun dalam pelatihan ini tidak bersifat simbolik atau utopis. Ia justru sangat membumi. Ia mengajarkan bahwa kekhalifahan adalah soal pengelolaan dan tanggung jawab, bukan soal kekuasaan.

Dalam skala mikro, setiap orang adalah khalifah:

Seorang ibu rumah tangga yang mengelola sampah organik menjadi kompos.

Seorang guru yang mengajak siswanya menanam sayuran di pekarangan sekolah.

Seorang pemuda yang memilih membuka lapak makanan sehat ketimbang ikut kerja instan yang merusak.

Bahkan, seorang santri yang belajar menjahit sambil menghafal Al-Qur’an, agar kelak bisa hidup mandiri dan membantu keluarganya.

Inilah wajah-wajah kekhalifahan yang tidak akan terpampang di baliho atau mimbar politik. Tapi justru mereka yang paling dekat dengan realitas umat dan paling tulus menjaga bumi.

Dari Konsep ke Kesadaran

Di tengah dunia Islam yang kadang terjebak dalam nostalgia kejayaan politik masa lalu, pelatihan ini memberikan arah baru: khalifah bukan soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berkontribusi. Bukan tentang masa lalu yang gemilang, tapi tentang masa depan yang bisa diperjuangkan dari sekarang—melalui kerja kecil yang konsisten, kolaborasi yang nyata, dan niat baik yang dirawat dengan ilmu.

“Kita tidak sedang membangun utopia,” kata Depri Cane menutup diskusi. “Tapi sedang belajar memahami diri kita, agar tidak menjadi penguasa atas sesama, melainkan penjaga bagi seluruh ciptaan.”

Pesan itu tak terlalu keras, tapi cukup mengguncang. Ia membuka ruang tafsir yang membebaskan. Bahwa siapa pun, dari mana pun, bisa menjadi khalifah—asal ia siap memikul tanggung jawab sosial dan spiritual dengan rendah hati.(acank)

Example 120x600