Scroll untuk baca artikel
BeritaPertanian

Khalifah di Bumi: Mengapa Pertanian Organik Adalah Kewajiban Setiap Muslim?

107
×

Khalifah di Bumi: Mengapa Pertanian Organik Adalah Kewajiban Setiap Muslim?

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ppmindonesia.com.Jakarta – “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi,” begitu firman Allah dalam Al-Qur’an (QS Al-Baqarah: 30) ketika menciptakan manusia. Kata “khalifah” — wakil, penjaga, pemakmur bumi — bukanlah gelar kosong. Ia datang bersama amanah besar: menjaga keseimbangan alam, memakmurkan tanah, dan tidak merusaknya.

Namun hari ini, kita justru menyaksikan bumi yang lelah. Tanah menjadi keras dan miskin, sungai beracun oleh pestisida, udara penuh polusi. Bukankah ini tanda bahwa kita telah lalai dalam menjalankan amanah sebagai khalifah?

Di sinilah pertanian organik menemukan maknanya — bukan hanya sebagai cara bertani yang sehat, tetapi juga sebagai kewajiban spiritual bagi setiap Muslim.

Bagi Guntoro Soewarno, petani organik yang membina Ali Organic Farm di Semarang, pertanian organik adalah wujud nyata dari perintah Allah untuk menjaga bumi. “Kalau kita benar-benar membaca ayat-ayat Allah, jelas sekali: bumi ini bukan milik kita untuk dieksploitasi sesuka hati. Kita hanya dititipi,” ujarnya.

Ia menambahkan, dalam banyak ayat, Allah melarang perusakan di muka bumi, bahkan setelah bumi diperbaiki. Pertanian dengan bahan kimia yang merusak tanah, membunuh mikroorganisme, dan mencemari air termasuk bentuk kerusakan yang nyata, meski sering kita anggap wajar.

Sebaliknya, bertani secara organik adalah usaha untuk memulihkan keseimbangan itu: mengembalikan kesuburan tanah, menjaga makhluk kecil di dalamnya tetap hidup, dan memastikan air tetap jernih.

Tidak hanya itu, pertanian organik juga memberi kesempatan bagi manusia untuk berbagi nikmat Allah dengan sesama. Hasil pertanian yang sehat, terjangkau, dan bermanfaat bagi masyarakat luas adalah bentuk sedekah yang paling nyata.

Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang Muslim menanam suatu tanaman, lalu dimakan manusia, hewan, atau burung, melainkan itu menjadi sedekah baginya.”

Guntoro melihat ayat dan hadis ini bukan hanya sebagai teks untuk dibaca, tetapi sebagai panduan hidup yang harus dijalankan. Baginya, setiap butir padi yang tumbuh tanpa racun, setiap sayuran yang sehat yang bisa dinikmati orang lain, adalah bentuk ibadah yang nyata.

Tentu saja, jalan ini tidak mudah. Di awal, banyak yang mencibir: hasilnya sedikit, repot, tak laku. Tapi setelah sabar melalui masa transisi, tanah yang dulu mati kembali subur, hasil panen melimpah, dan konsumen yang sadar kesehatan mulai berdatangan.

Dan yang paling penting, hati menjadi tenang. Karena dalam setiap cangkul yang menembus tanah, ada keyakinan bahwa ia sedang menjalankan tugas suci sebagai khalifah: merawat bumi, bukan merusaknya.

Hari ini, ketika krisis lingkungan dan krisis pangan semakin nyata, sudah waktunya kita sebagai Muslim kembali merenung: apakah cara kita memperlakukan bumi sudah sesuai dengan amanah sebagai khalifah?

Bertani organik, atau setidaknya mendukung pertanian organik, adalah salah satu cara paling nyata untuk menjawab panggilan itu.

 “Bumi ini bukan warisan nenek moyang kita, tetapi titipan untuk anak cucu kita. Dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atasnya.”

Maka, mari mulai dari yang kecil: dari pekarangan rumah, dari cara memilih makanan, dari mendukung para petani organik. Sebagai Muslim, ini bukan hanya pilihan, tetapi kewajiban.(acank)

Example 120x600