Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Habib Chirzin: Dari Lima Gunung, Orasi untuk Perdamaian dan Kearifan Lokal

108
×

Habib Chirzin: Dari Lima Gunung, Orasi untuk Perdamaian dan Kearifan Lokal

Share this article

Penulis : habib chirzin | Editor: asyary

ppmndonesia.com.Magelang -Di bawah langit biru Magelang yang diselimuti megahnya lima gunung, sebuah panggung terbuka menjadi saksi perjumpaan langka antara seni, budaya, dan iman. Di situlah Habib Chirzin, menyampaikan sebuah orasi dalam bahasa Jawa tentang perdamaian dan kearifan lokal, di hadapan hadirin Festival Seni dan Budaya Lima Gunung, yang digelar di Padepokan Tjipto Boedoyo, Magelang.

Festival Lima Gunung sudah lama dikenal sebagai salah satu agenda budaya yang paling berwarna di Indonesia. Seperti dilansir laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, festival ini bukan hanya menyajikan pameran seni, pertunjukan tradisional, dan lokakarya, tetapi juga menghadirkan sebuah ruang dialog: antara manusia dengan alam, antara generasi dengan tradisi, dan antara iman dengan kemanusiaan.

Habib Chirzin hadir di panggung itu bukan hanya sebagai tamu undangan, tetapi juga sebagai salah satu penerima Lima Gunung Award. Penghargaan tersebut diberikan oleh Komunitas Seni Budaya Lintas Budaya dan Lintas Iman kepada tokoh-tokoh yang selama hidupnya telah memperjuangkan perdamaian, budaya, dan kemanusiaan lintas batas.

Bersama nama-nama besar seperti KH Hamam Djafar, Romo Sindhunata SJ, Jacob Oetama, kelompok musik Kiai Kanjeng pimpinan Cak Nun, dan lainnya, Habib Chirzin berdiri sebagai duta nilai-nilai luhur yang kini kerap terabaikan: gotong royong, welas asih, dan penghormatan pada kearifan lokal.

Suasana pada Jumat itu hangat dan sarat makna. Doa pembuka dipimpin oleh H. Supadi, yang baru pulang dari ibadah haji, disusul sambutan oleh Presiden Budayawan Lima Gunung, Mas Sutanto Mendut, yang diiringi tarian Sufi penuh penghayatan.

Sebelum pemberian penghargaan, para hadirin disuguhi pertunjukan yang menggugah rasa: musik, tarian, dan pembacaan orasi yang masing-masing membawa pesan tentang cinta, keberagaman, dan bumi sebagai rumah bersama.

Ketika gilirannya tiba, Habib Chirzin melangkah ke panggung. Dengan tenang dan penuh penghayatan, ia menyampaikan orasinya dalam bahasa Jawa. Sebuah pilihan yang sekaligus menjadi pesan: bahwa perdamaian tidak harus selalu dinyatakan dengan bahasa internasional yang kaku, tetapi bisa lahir dari tutur lokal yang hangat dan membumi.

Pesan yang ia sampaikan sederhana, tetapi mendalam: perdamaian hanya mungkin lahir dari manusia yang mau belajar, yang mau mendengarkan bumi, dan yang mau menghormati perbedaan sebagai rahmat.

Festival tahun ini mengangkat tema “Andudah Kawruh kang Sinengker”, yang berarti membuka pengetahuan yang tersimpan. Tema itu seolah menemukan wujudnya dalam setiap rangkaian acara: mulai dari pangayubagya, orasi budaya, hingga dahar kembul bujono (makan bersama) yang menjadi penutup silaturahmi hari itu.

Dari Lima Gunung, Habib Chirzin mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya bukan hanya karena alamnya yang subur, tetapi karena nilai-nilai kearifan yang tersimpan di masyarakatnya. Nilai yang sering kita abaikan di tengah riuh politik dan hiruk-pikuk modernitas.

Festival Lima Gunung kembali mengajarkan kita bahwa seni dan budaya adalah jalan sunyi untuk menyapa sesama, mendengarkan bumi, dan meneguhkan kemanusiaan kita.

Di tengah dunia yang kerap gaduh dengan ujaran kebencian, panggung terbuka di kaki gunung ini mengajarkan bahwa dari kearifan lokal lahir semesta yang damai.

Dari Lima Gunung, kita belajar bahwa orasi perdamaian tidak hanya milik para diplomat di meja konferensi, tetapi juga milik mereka yang setia menjaga tradisi, menyapa sesama, dan merawat bumi tempat kita berpijak.(habib chirzin)

* Habib Chirzin adalah intelektual Muslim, penulis yang konsisten menyuarakan kemanusiaan, perdamaian, dan keadilan melalui artikel-artikelnya di berbagai media, sekaligus sesepuh aktivis Pusat Peranserta Masyarakat (PPM).

Example 120x600