ppmindonesia.com.Jakarta – Takwa. Sebuah kata yang begitu sering kita dengar, begitu sering kita ulang dalam doa dan ceramah, hingga terasa begitu akrab—namun juga begitu kabur. Apa sebenarnya makna takwa? Mengapa definisinya terasa sederhana, tetapi dalam praktiknya sering menyulitkan, bahkan menyempitkan? Dan yang lebih penting: kita selama ini mengikuti definisi siapa? Panduan Al-Qur’an atau tafsir sempit kitab fikih?
Kajian-kajian tafsir klasik dan ceramah populer umumnya mendefinisikan takwa sebagai melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Definisi itu diulang di mimbar-mimbar, dihafalkan anak-anak sekolah, dan menjadi standar moral publik. Namun, jika kita jujur membaca Al-Qur’an sendiri, ternyata definisi itu terlalu singkat untuk mewakili kedalaman makna takwa.
Dalam kajian Fidhralil Quran yang disampaikan Buya Syakur Yasin, pengasuh Pesantren Cadang Pinggan Indramayu, dipaparkan sebuah pelajaran penting: Al-Qur’an sendiri secara eksplisit mendeskripsikan siapa orang-orang yang bertakwa.
Di lembaran pertama Al-Baqarah (ayat 2–4), dijelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan salat, bersedekah dari rezeki yang diberikan Allah, percaya pada kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan yakin kepada akhirat.
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَۛ فِيْهِۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ ٢الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۙ ٣وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ ٤
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,yaitu) orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka,dan mereka yang beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan (kitab-kitab suci) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat.” (Al Baqarah; 2 – 4)
Jelas, takwa tidak hanya soal kepatuhan hukum-hukum ritual atau menjauhi larangan secara formal. Takwa melibatkan visi hidup yang jauh ke depan (yakin pada akhirat), rasa percaya diri untuk bermimpi (iman kepada yang gaib), relasi sosial yang sehat (dermawan dan komunikatif), bahkan keterbukaan terhadap agama-agama lain (percaya kepada kitab-kitab sebelumnya).
Sayangnya, di tangan sebagian mufassir dan fuqaha, makna takwa yang luas dan bernuansa itu diringkus menjadi formula hitam-putih: “lakukan perintah, jauhi larangan”. Definisi ini bukan hanya menyederhanakan, tetapi kadang juga mempersempit takwa menjadi sekadar daftar halal–haram, atau lebih buruk lagi: ukuran siapa yang Muslim, siapa yang bukan.
Padahal, jika kita konsisten dengan logika Al-Qur’an, takwa adalah kualitas jiwa dan integritas moral yang memancar dalam relasi dengan Tuhan, manusia, dan semesta. Takwa bukan milik eksklusif umat Islam saja, sebagaimana ditegaskan pula dalam QS Al-Baqarah:2 dan QS An-Nisa’:131, bahwa wasiat takwa diberikan Allah juga kepada para pemilik kitab sebelumnya: Yahudi, Nasrani, dan umat-umat lain yang menerima wahyu.
Ini pelajaran penting: definisi takwa ternyata tidak netral. Ia bisa dipengaruhi ideologi mufassirnya, sebagaimana yang dikritisi Buya Syakur. Tafsir yang lahir dari kacamata sempit mazhab tertentu akan menyeret makna takwa ke dalam kepentingan mereka sendiri: apakah itu Sunni, Syiah, Mu’tazilah, atau bahkan gerakan politik seperti Ikhwanul Muslimin.
Maka, sudah waktunya kita berani membaca ulang definisi takwa secara lebih jujur. Kita berani melihat bahwa Al-Qur’an sendiri sudah memberi panduan lengkap tentang siapa yang bertakwa dan bagaimana ciri-cirinya. Bukan berarti kita menafikan peran ulama dan kitab-kitab fikih, tetapi kita tidak boleh menggantungkan pemahaman hanya pada satu kacamata sempit.
Kita ingin takwa kembali menjadi kompas moral yang menghidupkan hati, bukan sekadar daftar larangan yang menakut-nakuti. Takwa yang memerdekakan, bukan membelenggu. Takwa yang membangun kesadaran spiritual dan sosial, bukan memupuk permusuhan atas nama “yang paling suci.”
Sudah waktunya kita kembali kepada Al-Qur’an, sumber utama yang tak pernah bias oleh ideologi manusia. Di sana, takwa bukan hanya slogan. Ia adalah jalan hidup yang membawa kita pada keseimbangan antara langit dan bumi, antara ritual dan sosial, antara hak Tuhan dan hak manusia.
Dan seperti firman-Nya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurat:13).
…اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ … ١٣
Mari kita berusaha menjadi bagian dari mereka—bukan hanya dengan lisannya, tetapi juga dengan pemahaman yang benar, sikap yang adil, dan hati yang lapang.(emha)