ppmindonesia.com.Jakarta – Setiap tanggal 12 Juli, kita kembali diingatkan pada mimpi besar bernama koperasi: sebuah lembaga ekonomi yang digadang-gadang sebagai soko guru perekonomian nasional. Namun, setiap tahun pula, kita disuguhi kenyataan pahit bahwa koperasi di negeri ini belum sepenuhnya menjadi rumah yang menyejahterakan rakyat.
Kita bisa belajar dari Denmark, sebuah negara kecil yang berhasil menjadikan koperasi sebagai pilar ekonomi yang nyata. Di negeri Viking itu, sekitar 90 persen pasar pertanian, peternakan, dan perikanan dikuasai koperasi.
Petani di sana tidak hanya mengirim hasil panennya ke koperasi, tetapi juga menguasai pabrik pengolahannya, jaringan pemasarannya, hingga supermarket yang menjual produk mereka sendiri. Koperasi seperti Arla Foods atau Danish Crown bahkan dikenal di pasar internasional, menjadi bukti bahwa gotong royong bukan hanya slogan, melainkan strategi yang berfungsi.
Di Denmark, koperasi bukan sekadar wadah simpan pinjam atau penyalur kredit konsumtif. Ia menjadi ekosistem ekonomi yang utuh, berorientasi pada peningkatan produktivitas, kesejahteraan anggota, dan keberlanjutan ekonomi lokal.
Para anggota terlibat aktif dalam pengambilan keputusan, pengelolaannya profesional, keuntungannya nyata, dan dampaknya meluas hingga ke pelosok desa.
Bandingkan dengan kondisi di tanah air. Indonesia memiliki jumlah koperasi yang sangat banyak, tetapi sebagian besar hanya hadir sebagai formalitas administrasi. Banyak koperasi hanya berfungsi sebagai lembaga pinjaman berbunga, dengan pengurus yang tak jarang lebih sibuk mengurus kepentingan sendiri daripada kepentingan anggota.
Bahkan, praktik manipulasi data anggota, tumpukan iuran tanpa manfaat nyata, dan pinjaman yang mencekik masih terjadi. Rakyat sering hanya menjadi penonton dalam mimpi kesejahteraan koperasi.
Fakta ini menunjukkan bahwa masalah koperasi di Indonesia bukan pada konsepnya, melainkan pada pelaksanaannya. Pendidikan koperasi yang minim, kualitas pengelola yang rendah, inovasi yang lambat, hingga pengawasan pemerintah yang lemah membuat banyak koperasi jalan di tempat.
Di sisi lain, generasi muda cenderung melihat koperasi sebagai lembaga “jadul” yang kurang relevan dengan zaman digital.
Mimpi koperasi yang sejahtera sebetulnya tidak mustahil. NTUC di Singapura, misalnya, mampu mengelola ratusan gerai ritel yang menjual kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, sambil tetap memberi keuntungan bagi anggota.
Kuncinya sederhana: manajemen yang profesional, anggota yang aktif, pengurus yang jujur, dukungan teknologi, dan keberpihakan pemerintah.
Indonesia memiliki semua modal untuk mewujudkan mimpi itu: jumlah penduduk yang besar, kekayaan alam yang melimpah, nilai gotong royong yang sudah mendarah daging, serta dasar hukum yang kuat dalam konstitusi.
Yang diperlukan adalah keberanian untuk berbenah: meninggalkan pola pikir sempit, memperbaiki kualitas sumber daya manusia, mendorong inovasi, dan menegakkan pengawasan yang tegas terhadap penyimpangan.
Hari Koperasi semestinya bukan hanya menjadi seremoni tahunan dengan pidato-pidato normatif. Ia harus menjadi momentum untuk membangunkan mimpi besar itu: menjadikan koperasi sebagai jalan kesejahteraan rakyat dari bawah, seperti yang telah ditunjukkan Denmark, Singapura, dan banyak negara lain.
Sudah waktunya kita berhenti bermimpi tentang koperasi yang sejahtera — dan mulai mewujudkannya.(acank)