ppmindonesia.com.Lombok Tengah- Kita menjalani kehidupan ini sering kali dengan persepsi yang kabur, kadang dengan perspektif yang sempit, dan jarang benar-benar dengan ittiba’—mengikuti Rasulullah ﷺ secara menyeluruh. Padahal, justru hanya itulah jalan yang lurus. Just that is.
Mari kita telaah dengan perlahan—dan dalam—karena ini bukan perkara sepele. Ini menyangkut bagaimana kita menjalani kehidupan, bukan sekadar bagaimana kita hidup. Ini bukan tentang apa profesi kita, melainkan tentang bagaimana kita menata misi hidup sebagai hamba dan khalifah, yang ditugaskan untuk membumikan nilai-nilai langit dalam realitas bumi.
💭 Antara Persepsi dan Perspektif: Ilusi yang Tak Disadari
Persepsi adalah cara kita menafsirkan realitas secara personal. Ia lahir dari pengalaman, luka, harapan, ketakutan, dan bias bawah sadar. Karena itu persepsi tidak netral—bahkan sering menyesatkan.
Perspektif, konon katanya lebih luas, karena ia berbentuk sudut pandang. Namun, sudut pandang tetaplah “sudut”—terbatas. Perspektif pun dibentuk oleh lingkungan, bacaan, pergaulan, dan budaya, yang belum tentu selaras dengan kebenaran. Sebab itu, kita sering merasa benar hanya karena terbiasa, bukan karena itu benar.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًاۗ ١٠٣اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا ١٠٤
“Katakanlah: Apakah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? (yaitu) orang-orang yang sia-sia perbuatannya di dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat baik.” (QS. Al-Kahfi:103–104)
Inilah yang mengerikan: banyak dari kita meyakini sudah berada di jalan yang tepat, padahal seluruh bangunan hidup kita hanyalah konstruksi persepsi dan perspektif—bukan ittiba’. Kita membangun dengan asumsi, bukan ilmu. Kita menentukan arah hidup dengan logika dunia, bukan petunjuk wahyu. Kita mengejar mimpi, tapi kehilangan misi.
🕊️ Ittiba’: Jalan Lurus yang Membebaskan
Ittiba’—mengikuti jejak Rasulullah ﷺ dengan cinta dan tunduk—bukanlah kepatuhan kaku atau penjara ide. Sebaliknya, ittiba’ justru adalah jalan pembebasan. Di sanalah ruh menemukan ketenangan, jiwa menemukan makna, dan akal menemukan terang.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ ٢١
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian; (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat serta banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab:21)
Ittiba’ bukan sekadar meniru amal lahiriah, melainkan menyelami cara berpikir, mencintai, bersikap, dan memimpin seperti beliau. Rasulullah ﷺ bukan hanya Nabi yang shalih, tetapi juga entrepreneur yang tangguh, negosiator ulung, pemimpin visioner, dan penggerak perubahan besar. Semua itu dijalankan bukan atas ambisi pribadi, melainkan karena Allah. Di sinilah akar entrepreneurial mindset yang berkarakter langit.
🚀 Entrepreneurial Mindset: Jalan Hidup Sang Khalifah
Entrepreneurial mindset bukan sekadar tentang membuka usaha. Ia adalah cara berpikir mandiri, inisiatif hidup, keberanian memikul tanggung jawab, dan kemampuan melihat peluang dalam tantangan. Namun, mindset ini hanya akan mendarat utuh jika fondasinya bukan semata semangat duniawi, tetapi ittiba’.
Jika persepsi menjadikan kita sekadar pengikut opini, dan perspektif menjadikan kita budak tren, maka ittiba’ menjadikan kita pelopor peradaban.
Ittiba’ Rasulullah ﷺ melahirkan iman yang mewujud dalam kerja produktif. Menjadikan kita visioner bukan demi kekayaan, tetapi demi memberi manfaat. Bukan sekadar bertahan hidup (survive), tetapi memakmurkan bumi dengan penuh amanah.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad)
Inilah entrepreneur sejati: bukan dikuasai hasrat memiliki, melainkan digerakkan oleh amanah memperbaiki.
🌌 Getaran Batin Sang Perintis
Renungkanlah…
Apa yang membuat Rasulullah ﷺ berhasil membangun masyarakat Madinah dari nol menjadi pusat peradaban? Bagaimana beliau menanamkan optimisme di dada para sahabat yang kala itu terjajah, miskin, dan tertindas?
Karena beliau menanamkan mindset mandiri: berpijak pada iman, digerakkan harapan ilahi, diikat tanggung jawab sosial. Inilah yang kita butuhkan hari ini.
Bukan hanya mengajarkan cara berdagang atau membuka warung, tetapi membentuk jiwa entrepreneur: tangguh psikologis, utuh spiritual, dan aktif sosial. Mereka yang tidak hanya bertanya: “Aku bisa dapat apa?”, tetapi juga: “Aku bisa memberi apa?”
🌱 Mindset yang Mengakar, Tindakan yang Mengubah
Mari kita kembalikan arah hidup kepada ittiba’. Jangan lagi hidup dari persepsi yang rapuh atau perspektif yang bias. Jadikan Rasulullah ﷺ sebagai founding father dalam setiap ide bisnis, setiap strategi, setiap langkah.
Bangun mindset bukan dari motivasi sesaat, tetapi dari misi besar sebagai hamba dan khalifah. Bergerak bukan karena tekanan ekonomi, tetapi karena dorongan iman. Berani mengambil risiko bukan demi popularitas, tetapi demi membuka jalan manfaat bagi banyak orang.
Inilah entrepreneurial mindset yang tak hanya membangun dunia, tetapi juga menata akhirat. Bukan sekadar meraih sukses, tetapi menjadi jalan bagi kemuliaan umat.
Dan semua itu—hanya mungkin—
jika kita kembali kepada satu hal:
Ittiba’ kepada Rasulullah ﷺ. Just that is.
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى ١٢٤
“Barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha:123) – (lalu khalid tarmizi)
— (lalu khalid tarmizi. tokoh dan senior Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) dan Ketua Presidium Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Wilayah Nusa Tenggara Barat )