ppmindonesia.com.Jakarta – Di berbagai majelis, media sosial, dan bahkan dalam doa kita sendiri, sering terdengar nada yang mirip tuntutan: “Ya Allah, saya sudah rajin shalat, sudah banyak sedekah, sudah ikut kajian, maka Engkau harus memberi saya keberhasilan, kesehatan, pasangan, atau surga.”
Kita mungkin tidak mengucapkannya setelanjang itu, tetapi sikap batin kita kerap menyiratkan hal serupa: kita merasa berhak menuntut balasan karena sudah berbuat baik. Kita seolah berkata kepada Tuhan: “Ini loh, saya sudah capek-capek ibadah, masa Engkau tidak kasih apa yang saya minta?”
Padahal, sejak kapan Tuhan berutang kepada kita?
Amal Bukan Alat Tawar-menawar
Ibadah yang kita lakukan sejatinya bukan untuk “membayar” Tuhan, apalagi untuk mengancam-Nya. Ibadah adalah wujud pengakuan bahwa kita ini hamba, bukan pemilik. Amal saleh adalah cara kita mendekat, bukan cara untuk memaksa Tuhan ikut rencana kita.
Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan:
… وَمَنْ شَكَرَ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ ٤٠
“Dan barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya (syukur) itu untuk dirinya sendiri; dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.” (QS. An-Naml:40)
Syukur, amal, ibadah — semuanya kembali untuk diri kita sendiri, bukan untuk Allah. Dia Mahakaya, tidak bergantung pada ibadah kita.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis:
“Ibadah itu bukan perdagangan. Orang yang beribadah karena mengharap imbalan seperti pedagang yang menghitung untung rugi. Padahal hamba sejati beribadah karena cinta dan takut, bukan karena pamrih.”
Tuhan Bukan Mitra Bisnis
Sayangnya, banyak di antara kita yang memandang Tuhan seperti mitra bisnis: kita setor amal, lalu Tuhan wajib memberi keuntungan. Cara berpikir ini tidak hanya keliru, tetapi juga merendahkan derajat kehambaan kita.
Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam kontemporer, pernah menulis bahwa orientasi ibadah semata-mata demi “balas jasa” dari Tuhan adalah warisan mentalitas primitif, yang justru menjauhkan makna ikhlas dalam penghambaan.
Betapa sering kita kecewa kepada Tuhan ketika harapan kita tidak terpenuhi, padahal kita merasa sudah banyak berbuat baik. Padahal, siapa kita sehingga berhak “menagih” Tuhan?
وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗۗ…٣
“Dan Dia memberi rezeki kepadamu dari arah yang tidak kamu sangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq:3)
Ayat ini mengajarkan bahwa Allah tidak bekerja berdasarkan permintaan kita. Dialah yang paling tahu kapan, bagaimana, dan apa yang terbaik untuk kita.
Amal Itu untuk Kita Sendiri
Amal saleh, doa, dan ibadah kita justru untuk membersihkan hati dan memperbaiki diri kita sendiri, bukan untuk membuat Tuhan “tak punya pilihan” selain mengabulkan semua keinginan kita.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Tidak seorang pun masuk surga karena amal perbuatannya.” Para sahabat bertanya: “Termasuk engkau juga, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Termasuk aku juga, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.” (HR. Bukhari & Muslim)
Kalimat Nabi ini sudah sangat jelas: bahkan Nabi sendiri tidak menganggap amal sebagai “jaminan” untuk mendapatkan surga. Semuanya karena rahmat-Nya.
Berhentilah Mengancam Allah
Berhentilah mengancam Allah dengan amal kita. Berhentilah berdoa dengan nada menuntut seolah Tuhan berutang kepada kita. Kembalikan amal pada niat yang benar: sebagai bentuk syukur, cinta, dan pengakuan diri sebagai hamba.
Berbuat baiklah tanpa syarat. Beribadahlah tanpa perhitungan untung rugi. Karena semua yang kita lakukan sejatinya adalah untuk diri kita sendiri.
Allah berfirman:
اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْۗ وَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ …٧
“Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, maka (dosanya) untuk dirimu sendiri.” (QS. Al-Isra’:7)
Maka, marilah kita beramal dengan rendah hati, sambil terus berharap pada rahmat-Nya. Sebab Allah tidak tunduk pada kemauan kita; kitalah yang seharusnya tunduk kepada-Nya.(emha)