Scroll untuk baca artikel
BeritaOpini

Ketika Saudara Berebut Warisan: Tragisnya Pertikaian Israel–Palestina

77
×

Ketika Saudara Berebut Warisan: Tragisnya Pertikaian Israel–Palestina

Share this article

Penulis ; acank | Editor ; asyary |

ilustrasi Ketika Saudara Berebut Warisan: Mereka bertengkar, berkelahi, lalu saling mengusir (doc.ppm)

ppmindonesia.com.Jakarta – Di sebuah rumah tua yang diwariskan dari generasi ke generasi, dua saudara kandung terlibat pertikaian. Keduanya mengaku pewaris sah rumah itu. Masing-masing membawa dokumen, cerita, dan luka. 

Mereka bertengkar, berkelahi, lalu saling mengusir. Rumah yang dulu hangat kini hancur, penuh retakan dan darah. Itulah kira-kira gambaran konflik Israel–Palestina: pertikaian tragis antara dua bangsa yang sesungguhnya bersaudara.

Baik Yahudi maupun Arab Palestina berasal dari satu leluhur yang sama: Nabi Ibrahim. Yang satu keturunan Ishaq, yang lain dari Ismail. Keduanya tumbuh sebagai dua cabang dari pohon yang sama, mewarisi tanah yang sama, dan kini, ironisnya, saling membunuh demi tanah yang sama.

Perselisihan mereka diperparah oleh sejarah panjang penindasan, penaklukan, dan campur tangan pihak luar. Bangsa Yahudi terusir dari negerinya, terombang-ambing sebagai diaspora, menjadi korban diskriminasi hingga genosida. 

Luka itu melahirkan Zionisme, sebuah gerakan untuk kembali “pulang” ke tanah leluhur mereka. Inggris lalu mengeluarkan Deklarasi Balfour (1917), menjanjikan sebidang tanah bagi Yahudi di Palestina — tanah yang pada saat itu telah lama dihuni oleh rakyat Arab Palestina.

Bagi bangsa Yahudi, itu adalah pengakuan atas hak mereka yang lama dirampas. Bagi Palestina, itu awal dari penderitaan panjang: terusir dari desa-desa, menjadi pengungsi, kehilangan tanah, dan hak-hak mereka diinjak-injak. Dua narasi yang saling menegasikan lahir dari satu cerita tentang rumah yang sama.

Sejak berdirinya negara Israel pada 1948, konflik tidak pernah berhenti. Perang demi perang meletus, resolusi demi resolusi PBB dilanggar, dan perdamaian yang dijanjikan selalu terasa jauh. Dunia berulang kali menyerukan solusi dua negara, tetapi di lapangan yang terjadi justru pembatasan, blokade, dan pendudukan yang semakin meluas.

Kini, Israel menjadi negara yang kuat, demokratis, dan modern dengan militer yang hampir tak tertandingi. Palestina masih terpecah, miskin, dan terkepung. Di satu sisi, Israel menolak dihapus dari peta. Di sisi lain, Palestina enggan menyerah terhadap pendudukan. Pertikaian itu tidak lagi hanya tentang tanah, melainkan tentang identitas, harga diri, dan luka kolektif yang diwariskan turun-temurun.

Yang lebih menyedihkan, dunia Arab, yang seharusnya paling dekat secara darah dan iman dengan Palestina, juga terjebak dalam kepentingan mereka sendiri. Ada ketakutan bahwa jika Palestina benar-benar merdeka, ia akan menjadi negara demokratis yang memberi ancaman bagi rezim-rezim otoriter di kawasan.

Tanah yang diwariskan itu kini lebih menyerupai kutukan daripada anugerah. Pertikaian dua saudara ini telah merenggut jutaan nyawa, menghancurkan generasi, dan menjadi simbol betapa rapuhnya peradaban ketika dendam lebih kuat daripada kasih sayang.

Ketika dua saudara berebut warisan tanpa batas, yang hancur bukan hanya rumah, melainkan juga harga diri dan masa depan mereka sendiri. Dan selama keduanya masih lebih sibuk membenarkan luka masing-masing daripada mengobatinya, tragedi ini akan terus berulang.

Dunia mungkin bisa memfasilitasi perdamaian, tetapi yang bisa memutus rantai dendam ini hanya mereka sendiri. Sudah saatnya kedua saudara itu menyadari bahwa rumah tua itu terlalu berharga untuk terus dijadikan medan perang.

Tanah itu bukan hanya warisan darah dan air mata mereka, tetapi juga harapan umat manusia bahwa kasih lebih besar daripada kebencian.(acank)

 

Example 120x600