ppmindonesia.com.Jakarta – Setiap kali Gaza luluh lantak, setiap kali ribuan rakyat Palestina kehilangan rumah, dunia Arab selalu terdengar lantang dalam pernyataan. Namun, kenyataannya, mereka lebih sering hanya lantang di mimbar daripada di medan nyata. Palestina tetap sendiri, sementara para pemimpin Arab menegaskan komitmen mereka hanya lewat kecaman yang tak lagi didengar dunia.
Pertanyaannya sederhana namun menyakitkan: mengapa dunia Arab tak pernah benar-benar mampu menolong Palestina?
Pertama, dunia Arab sendiri tak pernah utuh. Sejak lama mereka terpecah oleh batas-batas negara warisan kolonial, terbelah dalam faksi-faksi politik, dan saling curiga di antara sesama. Liga Arab, yang seharusnya menjadi wadah solidaritas, lebih sering menjadi forum kompromi kepentingan daripada kekuatan yang nyata. Dalam setiap konflik Israel–Palestina, negara-negara Arab tak pernah mampu menyusun strategi bersama yang efektif.
Kedua, banyak rezim Arab takut pada konsekuensi politik internal jika mereka benar-benar mendukung perjuangan Palestina dengan serius. Kemerdekaan Palestina yang demokratis, bebas dari pendudukan, justru dianggap ancaman bagi kekuasaan otoriter mereka sendiri. Palestina yang merdeka bisa memberi inspirasi bagi rakyat mereka untuk menuntut kebebasan dan keadilan yang sama. Sebab itu, sebagian besar dukungan yang mereka berikan hanya sebatas retorika.
Ketiga, ada pula faktor ketergantungan ekonomi dan politik pada Barat. Banyak negara Arab menjalin hubungan ekonomi, perdagangan, dan pertahanan dengan Amerika Serikat atau Eropa, yang notabene adalah sekutu utama Israel. Untuk menjaga hubungan itu, mereka berhati-hati dalam bersikap terhadap konflik Palestina, karena terlalu keras bisa merugikan mereka sendiri.
Tak dapat disangkal, dunia Arab pernah mencoba bertindak. Perang 1948, 1967, dan 1973 menunjukkan keberanian mereka melawan Israel. Namun, semua itu berakhir dengan kekalahan, bahkan mempermalukan mereka di mata rakyatnya sendiri. Kekalahan itu membuat banyak negara Arab mengubah haluan: memilih berdamai dengan Israel atau setidaknya menjaga jarak aman.
Kini, beberapa negara Arab bahkan sudah menandatangani perjanjian normalisasi hubungan dengan Israel melalui Abraham Accords. Sementara rakyat mereka masih marah melihat penderitaan Palestina, para pemimpinnya memilih jalan pragmatis: menyelamatkan kepentingan nasional mereka sendiri.
Yang menyedihkan, di saat dunia Arab sibuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya, rakyat Palestina tetap membayar harga yang paling mahal. Gaza terus dikepung, Tepi Barat terus tergerus permukiman, dan ribuan anak kehilangan masa depan mereka di bawah bayang-bayang perang.
Jika dunia Arab ingin kembali bermakna di mata sejarah, mereka harus berani keluar dari bayang-bayang ketakutan dan kepentingan sempit. Mereka harus kembali melihat Palestina bukan hanya sebagai isu politik untuk dijadikan alat retorika, tetapi sebagai ujian moral: apakah mereka masih punya keberanian untuk membela keadilan, meski risikonya besar?
Selama dunia Arab sibuk dengan urusan masing-masing, selama solidaritas hanya berhenti di mimbar, rakyat Palestina akan tetap sendirian.
Pertanyaan ini bukan hanya untuk para pemimpin Arab, tetapi juga untuk kita semua: sampai kapan kita hanya menonton? (emha)