Scroll untuk baca artikel
BeritaOpini

Jangan Jadi Polisi Sholat: Perbaiki Diri, Bukan Mencela Orang

83
×

Jangan Jadi Polisi Sholat: Perbaiki Diri, Bukan Mencela Orang

Share this article

Penulis: emha | Editor: asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Di banyak masjid, kita sering menyaksikan pemandangan yang seharusnya membuat kita miris. Orang-orang yang baru saja menunaikan sholat, yang mestinya hati dan lisannya disucikan oleh dzikir, malah sibuk mencela orang lain hanya karena cara sholatnya berbeda. 

Ada yang mencibir makmum di sebelah karena sedekapnya di dada, bukan di perut. Ada yang menuding “bid’ah” karena imam membaca kunut subuh. Ada yang tersenyum sinis melihat cara takbir orang yang menurutnya “salah”.

Sholat yang semestinya menjadi sekolah kerendahan hati justru dijadikan alat untuk meninggikan diri dan merendahkan orang lain. Fenomena ini bukan hanya menyedihkan, tapi juga bertentangan dengan makna sejati sholat itu sendiri.

Di hadapan Allah, semua kita sama. Itulah pelajaran pertama yang diajarkan masjid: siapa datang duluan, duduk di depan. Siapa datang telat, duduk di belakang. Tak ada karpet khusus untuk pejabat, tak ada saf istimewa untuk orang kaya. 

Bahkan, di antara para jamaah bisa saja seorang bupati berdiri di belakang seorang buruh tani. Ketika sujud, ubun-ubun pejabat itu menempel ke lantai, sejajar dengan ubun-ubun tukang macul yang di depannya. 

Itulah ajaran keadilan yang sederhana, tetapi mendalam: di hadapan-Nya, derajat kita bukan ditentukan pangkat, kekayaan, atau popularitas, melainkan takwa.

Jika sholat benar-benar kita hayati, maka lima kali sehari kita dilatih untuk merendah, untuk menyadari bahwa kita semua hanyalah hamba. Rasulullah ﷺ bersabda, 

“Sebaik-baik manusia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa, meski kulitnya hitam, pakaiannya compang-camping, dan tidak dipandang oleh manusia.” (HR Ahmad).

Sayangnya, semangat persaudaraan itu kadang hilang di saf. Yang tersisa hanyalah ego. Lalu mulailah muncul “polisi-polisi sholat” yang merasa berhak menghakimi cara orang lain beribadah. 

Padahal, dalam banyak hal yang diperdebatkan—seperti kunut, sedekap, jumlah rakaat tarawih—para ulama besar sendiri sudah berbeda pendapat sejak ratusan tahun lalu. Dan semua punya dasar masing-masing.

Alangkah baiknya jika energi yang kita gunakan untuk mencela orang lain itu dialihkan untuk memperbaiki diri sendiri. Karena sungguh, banyak di antara kita yang mengkritik bacaan imam, tapi dirinya sendiri belum tentu membaca Al-Fatihah dengan fasih. Banyak yang rewel soal “bid’ah” orang lain, tapi tak sadar bahwa takbirnya sendiri kadang salah makna.

Kalimat takbir saja—Allahu Akbar—banyak yang melafalkan dengan keliru hingga maknanya berubah. Ada yang memanjangkan huruf pertama hingga jadi pertanyaan (A Allahu Akbar?). Ada yang menambahkan huruf-huruf yang tak perlu.

Padahal, nama Allah itu suci dan tak layak dipermainkan. Maka, belajarlah memperbaiki diri, sebelum mengoreksi orang lain.

Sholat bukan untuk menyombongkan diri, melainkan untuk merendahkan diri. Sholat bukan untuk jadi ajang mencari-cari salah orang lain, tetapi untuk mencari ridha Allah. Sholat bukan alat untuk perpecahan, melainkan perekat persaudaraan.

Kalau kita mau jujur, masalah-masalah kecil itu tidak akan pernah selesai. Dari dulu, sejak masa Nabi, hingga sekarang, umat Islam di seluruh dunia tidak pernah 100% sama dalam cara sholat.

Dan itu tidak masalah. Yang jadi masalah adalah ketika kita merasa paling benar, lalu mencaci maki orang lain yang berbeda.

Seperti kata Nabi ﷺ, 

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati kalian dan amal kalian.” (HR Muslim).

Maka, marilah kita kembali ke inti sholat. Tundukkan hati, luruskan niat, dan sibukkan diri memperbaiki kekurangan kita sendiri. Hentikan kebiasaan menjadi “polisi sholat” yang sibuk mencari-cari salah orang lain. Sebab, bisa jadi, justru sholat mereka lebih baik di sisi Allah daripada kita.

Sholat adalah doa yang paling jujur: kita semua memohon ampunan, kita semua berharap rahmat. Jangan kotori dengan kebencian dan ego.

Perbaiki diri, bukan mencela orang lain. Di hadapan-Nya, kita semua hanyalah hamba yang sama.(emha)

 

Example 120x600