ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah hiruk-pikuk perang udara antara Iran dan Israel, satu kenyataan yang patut direnungkan bukan hanya dentuman rudal atau pernyataan perang, melainkan dampak jangka panjangnya terhadap dunia Islam yang sudah lama rapuh oleh perpecahan.
Eskalasi antara dua kekuatan regional ini bukan sekadar pertarungan militer, tetapi sebuah panggung besar di mana politik pecah belah terhadap umat Islam terus dimainkan secara sistematis dan mendalam.
Konflik Iran-Israel telah berlangsung dalam bentuk bayangan selama puluhan tahun. Kini, ia meletus ke permukaan dalam bentuk serangan terbuka. Namun, yang lebih berbahaya dari roket dan drone adalah apa yang tersisa setelahnya: keretakan, kecurigaan, dan keterpecahan di antara umat Islam sendiri.
Dunia Islam yang Terbelah
Iran memposisikan dirinya sebagai pembela Palestina dan musuh utama Israel. Dukungan terhadap Hamas dan Jihad Islam, serta retorika keras terhadap zionisme dan Amerika Serikat, menjadikan Iran sebagai simbol “perlawanan.” Tapi simbol ini tidak diterima dengan tangan terbuka oleh negara-negara Muslim lainnya.
Sebagian besar negara Arab Sunni justru melihat Iran sebagai ancaman. Bukan hanya karena perbedaan mazhab (Syiah), tetapi juga karena ambisi regional Teheran yang dinilai mengganggu stabilitas internal negara-negara tetangga seperti Irak, Suriah, Yaman, dan Lebanon.
Dari sinilah logika sektarianisme dimulai. Solidaritas terhadap Palestina menjadi rumit ketika dibingkai dalam rivalitas Sunni-Syiah. Banyak negara Muslim merasa enggan menyuarakan dukungan kepada Iran bahkan ketika Iran diserang—karena dukungan tersebut dianggap identik dengan berpihak pada Syiah, bukan pada keadilan atau kemanusiaan.
Di sinilah politik pecah belah menemukan panggungnya. Dunia Islam dijauhkan dari esensi perjuangan: membela yang tertindas, menegakkan keadilan, dan melawan penjajahan. Sebaliknya, perhatian umat dibelokkan ke arah perbedaan identitas, loyalitas sektarian, dan kepentingan geopolitik sesaat.
Strategi Lama yang Terus Diulang
Strategi memecah dunia Islam berdasarkan mazhab, etnis, dan negara bukan hal baru. Sejak era kolonial, kekuatan luar telah memahami bahwa umat yang terpecah lebih mudah dikuasai. Pasca Perang Dunia I, pecahnya Khilafah Ottoman menjadi awal mula negara-negara Muslim berdiri sendiri-sendiri dengan batas geopolitik buatan, bukan berdasarkan kesatuan spiritual atau budaya.
Dalam konteks modern, strategi ini dilanjutkan melalui kebijakan luar negeri adidaya, proxy war, dan aliansi yang bersifat eksklusif. Iran, yang dijatuhi sanksi ekonomi dan militer oleh Barat, dijadikan kambing hitam sekaligus momok. Sementara sebagian negara Arab Sunni menjalin perjanjian damai dengan Israel demi keuntungan ekonomi dan keamanan regional.
Politik adu domba ini bekerja bukan hanya di ruang diplomatik, tetapi juga di ruang persepsi publik umat Islam. Retorika seperti “Syiah berbahaya” atau “Iran ingin menguasai Timur Tengah” terus digemakan untuk memperlebar jarak dan menghambat kerja sama.
Siapa yang Diuntungkan?
Pertanyaan penting: siapa yang paling diuntungkan dari pecahnya dunia Islam?
Jawabannya sederhana: mereka yang menguasai sumber daya, jalur perdagangan, dan narasi global. Ketika umat Islam sibuk mempertajam perbedaan internal, pihak luar dengan tenang mengontrol teknologi, energi, informasi, dan keuangan dunia. Ketika Iran dan Israel saling menyerang, Palestina kembali menjadi korban sunyi. Saat Gaza dibombardir, Tepi Barat diambil sebagian demi sebagian, dan Al-Quds dibiarkan terasing dari umat.
Narasi perlawanan berubah menjadi kompetisi pengaruh, bukan lagi solidaritas yang otentik. Bahkan, dalam krisis terbaru, tidak sedikit negara Muslim yang justru mendekat ke Israel, karena lebih takut pada ambisi regional Iran daripada pada pendudukan Palestina yang sudah berlangsung 75 tahun.
Islam yang Kehilangan Ruh Persatuan
Agama Islam, sejak awal, menekankan persatuan dan ukhuwah. Namun dalam praktiknya hari ini, umat Islam lebih banyak terjebak dalam klaim kebenaran masing-masing golongan. Mazhab, fatwa, dan loyalitas politik dijadikan alat untuk membenarkan ketertutupan terhadap sesama Muslim.
Padahal Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
اِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ… ١٥٩
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi bergolongan-golongan, bukanlah kamu termasuk golongan mereka sama sekali.” (QS Al-An’am: 159)
Dan juga:
عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ…٨
“Dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah. Itu lebih dekat kepada takwa.” (QS Al-Ma’idah: 8)
Kedua ayat ini adalah fondasi etis yang kuat bagi umat Islam untuk keluar dari pusaran perpecahan. Namun, selama umat Islam masih melihat konflik melalui kacamata mazhab, bukan kemanusiaan; selama penguasa Muslim lebih peduli pada stabilitas tahta daripada nasib rakyat Palestina, maka pecah belah ini akan terus berlangsung.
Saatnya Kembali ke Esensi
Konflik Iran-Israel hanyalah satu bab dari narasi panjang yang ditulis dengan tinta perpecahan. Tetapi umat Islam masih memiliki kesempatan untuk menulis ulang narasi tersebut—dengan persatuan, akal sehat, dan kepedulian yang tulus terhadap yang tertindas, tanpa syarat mazhab atau geopolitik.
Dunia Islam tidak kekurangan jumlah, harta, atau sejarah kejayaan. Yang kurang hanyalah kompas moral yang utuh: untuk berdiri tegak bersama kebenaran, siapa pun yang membawanya; dan menolak kezaliman, siapa pun pelakunya.(acank)