ppmindonesia.com.Jakarta – Di setiap petak sawah yang menguning dan ladang yang menghijau, kita melihat hasil kerja keras para petani: padi yang siap dipanen, sayuran segar di pasar, buah-buahan ranum di meja makan kita. Namun di balik hasil itu, ada pula cerita lain yang jarang kita lihat — tanah yang makin keras, air yang makin keruh, udara yang makin pengap.
Pertanian modern memang telah berhasil memberi makan jutaan orang, tetapi dengan harga yang mahal: kerusakan bumi yang perlahan tapi nyata. Pupuk kimia yang kita gunakan meracuni tanah, pestisida mematikan serangga penyerbuk, limbahnya mencemari sungai dan laut. Jika semua ini terus berlangsung, apa yang akan kita wariskan pada anak-cucu kita kelak?
Itulah pertanyaan yang memotivasi banyak petani organik untuk memilih jalan berbeda. Mereka bertani bukan hanya untuk hari ini, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk generasi yang akan datang.
Guntoro Soewarno, petani organik di Semarang yang mengelola Ali Organic Farm (ALO FARM), menyebut pertanian organik sebagai jihad sunyi. “Kalau kita hanya berpikir soal untung cepat, ya pakai saja pupuk kimia. Tapi kalau kita berpikir tentang cucu-cucu kita nanti, kita akan sadar bahwa kita tidak boleh terus meracuni tanah,” katanya.
Pertanian organik memang tidak instan. Di awal, tanah butuh waktu untuk pulih setelah bertahun-tahun disiram bahan kimia. Hasil panen mungkin lebih sedikit, kerja lebih berat.
Tapi lambat laun, tanah kembali subur, air di sekitar lahan jernih lagi, serangga kembali berdatangan, dan hasil panen meningkat. Bahkan, ketika dikelola dengan baik, biaya produksi bisa turun hingga 70 persen dan produktivitas meningkat signifikan.
Lebih dari itu, hasil panen organik terbukti lebih sehat untuk tubuh dan lebih aman bagi lingkungan. Kita tidak hanya memberi makan keluarga, tetapi juga memastikan bumi tetap bisa memberi makan generasi berikutnya.
Tentu saja, tantangan tidak kecil. Harga produk organik kadang lebih mahal di pasar. Pasar yang belum sepenuhnya siap. Petani yang butuh bimbingan dan dukungan. Namun gerakan ini tetap berjalan, didorong oleh keyakinan bahwa bumi ini bukan hanya milik kita, tetapi juga milik mereka yang belum lahir.
Setiap benih yang ditanam tanpa racun, setiap sayur yang dipanen tanpa pestisida, setiap petak tanah yang kembali subur — semua itu adalah janji diam-diam kepada anak-cucu kita bahwa mereka berhak mewarisi bumi yang sehat.
Hari ini, dunia sedang menghadapi krisis iklim, bencana ekologis, dan ancaman kekurangan pangan. Jawaban atas masalah ini tidak hanya ada pada kebijakan besar pemerintah atau konferensi internasional, tetapi juga pada pilihan-pilihan kecil kita sehari-hari: di ladang, di pasar, di dapur.
Ayo bertani organik. Tidak harus di lahan luas. Bisa dimulai dari pekarangan rumah, dari komunitas kecil, dari kebiasaan memilih pangan sehat di pasar. Karena setiap langkah kecil yang kita ambil hari ini adalah bekal besar untuk masa depan mereka.
Karena bumi ini bukan warisan nenek moyang kita, tetapi titipan untuk anak cucu kita. Dan mereka berhak menerima bumi yang lebih baik daripada yang kita terima.
“Ayo bertani organik! Bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk mereka yang akan datang setelah kita.”