Scroll untuk baca artikel
BeritaNasional

Ekspor Naik, Impor Membengkak: Sebuah Ilusi Keuntungan

76
×

Ekspor Naik, Impor Membengkak: Sebuah Ilusi Keuntungan

Share this article

Penulis; acank| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta- Kesepakatan dagang Indonesia–Amerika Serikat (AS) yang baru diumumkan pekan lalu disambut pemerintah dengan nada penuh kemenangan. Pemerintah menyebut penurunan tarif ekspor Indonesia ke AS, dari 32 persen menjadi 19 persen, sebagai hasil negosiasi yang alot dan bukti keberhasilan diplomasi ekonomi.

Namun, di balik sorak-sorai tentang naiknya peluang ekspor, tersimpan fakta yang jauh lebih kompleks: akses penuh bagi produk-produk AS ke pasar Indonesia tanpa bea masuk (0 persen) berpotensi membanjiri pasar lokal, merusak harga produk dalam negeri, dan memperburuk neraca perdagangan.

Presiden AS Donald Trump dengan tegas menyebut perjanjian ini sebagai pencapaian besar bagi negaranya. “Mereka tetap membayar 19 persen untuk masuk ke sini, sementara kami tidak membayar apa pun untuk masuk ke sana. Kami punya akses penuh ke Indonesia,” ujarnya di Washington, seperti dilaporkan Reuters.

Di satu sisi, ekspor Indonesia ke AS memang akan terbantu, khususnya untuk komoditas seperti minyak sawit mentah (CPO), karet, tekstil, dan alas kaki. Namun, di sisi lain, banjir produk AS ke Indonesia, mulai dari daging sapi, kedelai, jagung, hingga suku cadang pesawat, dengan harga yang lebih murah dan tanpa hambatan tarif, berpotensi melumpuhkan pelaku usaha lokal.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, mengingatkan bahwa kenaikan ekspor tidak boleh menutup mata kita terhadap risiko jangka panjang yang dihadapi oleh petani, peternak, dan UMKM.

 “Ekspor kita memang naik, tetapi impor dari AS bisa naik lebih besar. Jangan sampai kita hanya jadi pasar barang murah mereka, sementara produksi rakyat kita mati perlahan,” ujarnya, Jumat (18/7/2025).

Alex menyebut kebijakan ini sebagai ilusi keuntungan yang merugikan sektor strategis bangsa. “Kalau ayam beku AS dijual di bawah harga pokok produksi kita, siapa yang akan membeli ayam peternak lokal? Di mana letak keuntungan itu bagi rakyat kecil?” tambahnya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, juga melihat kebijakan ini sebagai ancaman bagi kelangsungan industri kecil. “Barang murah dari AS akan memukul UMKM kita, pabrik-pabrik kecil bangkrut, dan ujung-ujungnya buruh yang di-PHK,” katanya.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut perjanjian ini tidak lebih dari strategi AS untuk memperlebar surplus perdagangannya dengan Indonesia.

“Ekspor kita memang naik, tapi impor melonjak lebih besar. Neraca perdagangan kita bisa defisit. Ini hanya ilusi keuntungan yang dinikmati sesaat, tetapi dampaknya panjang,” jelas Bhima.

Pemerintah, melalui Presiden Prabowo Subianto, berargumen bahwa keputusan itu diambil dengan pertimbangan strategis, termasuk kebutuhan Indonesia untuk membeli gandum, energi, kedelai, dan armada pesawat baru. “Trump memang negosiator yang keras, tetapi kita juga butuh mereka untuk beberapa kebutuhan vital. Jadi kita kompromi,” ujarnya.

Namun publik masih bertanya: apakah kompromi itu sepadan?

Kenaikan ekspor yang dibanggakan pemerintah memang penting. Tetapi jika diikuti lonjakan impor tanpa kendali, yang justru menekan industri lokal, maka yang tersisa hanyalah angka-angka di atas kertas. Sementara di lapangan, petani, peternak, UMKM, dan buruh kecil menghadapi persaingan yang tak adil dan masa depan yang suram.

Pemerintah menyebut telah menyiapkan kebijakan pengamanan, seperti safeguard, kuota impor, dan perlindungan harga dasar. Namun hingga kini, langkah-langkah itu belum dijabarkan dengan jelas dan belum dirasakan dampaknya oleh masyarakat.

Keseimbangan antara membuka diri untuk perdagangan global dan melindungi sektor domestik adalah ujian yang nyata bagi kebijakan ekonomi kita. Membanggakan kenaikan ekspor sambil membiarkan impor membengkak hanya menciptakan fatamorgana yang menipu.

Ekonomi yang sehat bukan hanya soal angka ekspor yang melonjak, tetapi juga tentang kemampuan rakyat kecil untuk tetap menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

Saatnya pemerintah berhenti mengejar ilusi keuntungan jangka pendek, dan mulai berpikir tentang keberlanjutan ekonomi yang melindungi seluruh rakyatnya.(acank)

 

Example 120x600