Scroll untuk baca artikel
BeritaInternasional

Trump, Prabowo, dan Harga yang Harus Dibayar Indonesia

95
×

Trump, Prabowo, dan Harga yang Harus Dibayar Indonesia

Share this article

Penulis; acank| Editor; asyary

ppmindonesia.com.Jakarta – Pertemuan telepon antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto pekan lalu menghasilkan sebuah kesepakatan dagang yang disebut “bersejarah”. Tarif ekspor Indonesia ke AS diturunkan dari 32 persen menjadi 19 persen, sementara produk-produk asal AS bisa masuk ke pasar Indonesia dengan tarif nol persen.

Pemerintah memuji hasil negosiasi ini sebagai keberhasilan diplomasi ekonomi yang “alot” dan “berat”. Namun, di balik keberhasilan yang diklaim itu, muncul pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang diuntungkan, dan berapa harga yang harus dibayar oleh Indonesia?

Presiden Trump, dengan gaya retorika khasnya, menyebut perjanjian itu sebagai kemenangan telak bagi AS. “Mereka tetap membayar 19 persen untuk masuk ke sini, sementara kami tidak membayar apa pun untuk masuk ke sana. Kami punya akses penuh ke Indonesia,” ujarnya, seperti dikutip Reuters.

Pernyataan Trump jelas menggambarkan siapa yang memegang kendali dalam negosiasi itu.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, mengkritik keras hasil kesepakatan ini. Ia menilai pemerintah terlalu mudah memberikan akses pasar domestik bagi produk-produk murah asal AS tanpa perlindungan yang cukup bagi rakyat kecil.

 “Jangan sampai kita hanya jadi pasar barang-barang murah dari luar, sementara petani dan peternak kita hancur. Kedaulatan pangan tidak boleh dijual di meja perundingan,” tegas Alex di Jakarta, Jumat (18/7/2025).

Menurut Alex, produk unggas, jagung, kedelai, dan daging sapi dari AS yang lebih murah akan menekan harga pasar domestik hingga di bawah biaya produksi lokal. Hal ini bisa mengancam jutaan petani, peternak, dan pelaku UMKM. “Kalau ayam beku AS dijual murah, siapa yang masih mau beli ayam peternak kita? Ini bukan sekadar soal ekspor naik, ini soal hidup rakyat,” ujarnya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, juga melihat dampak negatif kesepakatan itu terhadap industri kecil dan tenaga kerja. “Barang murah dari AS akan memukul industri kita, UMKM bangkrut, buruh yang di-PHK. Sejarah sudah banyak mengajarkan kita hal itu,” katanya.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut perjanjian ini hanya memperkuat surplus perdagangan AS, bukan Indonesia. “Ekspor kita memang naik sedikit, tapi impor dari AS melonjak lebih besar. Neraca kita bisa defisit, industri kita lumpuh, dan kedaulatan ekonomi kita tergerus,” ujarnya.

Presiden Prabowo sendiri mengakui bahwa negosiasi itu berjalan sangat keras. Menurutnya, Indonesia butuh kompromi karena masih membutuhkan gandum, kedelai, energi, dan armada baru untuk Garuda Indonesia. “Trump negosiator yang keras, tapi kita juga punya kebutuhan yang harus dipenuhi. Jadi kita kompromi,” ujarnya.

Namun, persoalannya bukan sekadar tentang siapa yang keras atau siapa yang butuh. Persoalannya adalah tentang prioritas. Siapa yang diprioritaskan dalam kompromi itu? Apakah rakyat kecil yang selama ini menopang ekonomi nasional, atau kepentingan jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan impor?

Pemerintah memang menyebut telah menyiapkan mekanisme pengamanan pasar domestik melalui kuota impor, safeguard, dan jaminan harga dasar. Namun, hingga kini, kebijakan tersebut belum dijelaskan secara detail dan belum memberikan jaminan nyata bagi petani, peternak, dan pelaku UMKM.

Perdagangan bebas memang menjadi bagian dari dunia yang semakin terhubung. Namun, pemerintah berkewajiban memastikan bahwa rakyatnya tidak sekadar menjadi penonton atau korban dari setiap perjanjian dagang.

Petani, peternak, buruh, dan pelaku usaha kecil tidak boleh dikorbankan hanya demi angka ekspor di atas kertas. Mereka adalah fondasi kedaulatan bangsa ini.

Di balik sorak-sorai diplomasi yang disebut “bersejarah”, rakyat kecil kini bertanya-tanya: berapa harga yang sebenarnya harus dibayar Indonesia untuk sebuah kesepakatan?

Saatnya pemerintah berhenti mengejar ilusi kemenangan jangka pendek, dan mulai memastikan bahwa setiap perjanjian benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya pada mitra dagang yang lebih kuat.(acank)

Example 120x600