ppmindonesia.com.Jakarta – Ketika bangsa ini menapaki jalan menuju Indonesia Emas 2045, harapan besar dibangun: kemajuan ekonomi, keadilan sosial, keutuhan bangsa. Pemerintah dan Presiden telah menyerukan persatuan nasional sebagai syarat mutlak menuju cita-cita bersama. Namun, realitas sosial-politik justru kerap menampilkan paradoks.
Alih-alih menguatkan barisan, para tokoh, elite, dan bahkan masyarakat awam terjerembab dalam pertikaian wacana, saling menyalahkan, bahkan mengolok-olok.
“Kita tidak sedang kekurangan orang pintar, kita sedang kekurangan orang yang tulus dan mampu menjaga kata-katanya agar tidak merusak tatanan,” ujar Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, cendekiawan muslim dan mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Realitas inilah yang mengharuskan kita kembali menengok Al-Qur’an, bukan hanya sebagai teks suci yang dilagukan, tetapi sebagai sumber hikmah, petunjuk, dan peringatan.
Petunjuk Sudah Diberikan, Tapi Diabaikan
Surah An-Nahl (16:89) menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai penjelas bagi segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang tunduk. Artinya, tidak ada satu pun problem manusia—baik sosial, politik, atau spiritual—yang luput dari bimbingan ilahi.
Namun, menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus),
“Kita sering memuliakan Al-Qur’an sebagai mushaf, tetapi lupa menjadikannya sebagai pedoman hidup. Kita sibuk mengkhatamkan huruf-hurufnya, tetapi mengabaikan makna yang dikandungnya.”
Lebih lanjut, Surah Ali Imran (3:103) menyeru agar umat berpegang teguh pada tali Allah dan jangan bercerai-berai. Dalam konteks keindonesiaan, tali Allah adalah nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kasih sayang yang menjadi fondasi bangunan persatuan nasional.
Persaudaraan yang Dipatahkan Adalah Pengkhianatan terhadap Fitrah
Bangsa ini bukanlah sekumpulan individu anonim. Kita adalah satu umat, satu tanah air, satu cita-cita. Namun, seperti diingatkan dalam Surah Ar-Rum (30:30), banyak manusia yang tidak memahami fitrah persatuan itu. Mereka memecah agama dan bangsa menjadi sekat-sekat kepentingan sempit.
“Fanatisme buta terhadap kelompok dan golongan bisa membuat orang berbuat zalim atas nama kebenaran. Padahal, orang yang merasa paling benar justru sedang menempuh jalan kesesatan,” kata Buya Syafii Maarif (alm), tokoh Muhammadiyah dan negarawan moral yang konsisten menyerukan moderasi dan persatuan.
Tindakan memecah persatuan ini, dalam bahasa Al-Qur’an, termasuk bentuk syirik sosial-politik—mempertuhankan ego pribadi atau kelompok hingga menggeser nilai ketauhidan kolektif.
Kemenangan Bukan Pada Teriakan, Tapi Keteladanan
Surah Ali Imran (3:104) menyerukan agar di antara umat ini ada yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, dan mencegah yang mungkar. Tetapi ajakan ini harus dilandasi teladan.
“Pendidikan terbaik adalah keteladanan. Tidak cukup menyeru persatuan jika dalam praktiknya menyebarkan caci maki dan kebencian,” tegas Anies Baswedan, akademisi dan mantan Menteri Pendidikan.
Islam tidak mengenal kemenangan dalam permusuhan. Justru mereka yang bersatu, saling memaafkan, menahan amarah, dan terus menginfakkan hartanya di jalan kebaikanlah yang dicintai Allah (QS Ali Imran: 134). Yang dicintai bukan “orang baik”, tapi mereka yang berbuat baik.
….وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ١٣٤
….Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.( q.s ali imran; 134)
Kembali ke Jalan yang Lurus
Jika bangsa ini ingin menang, bukan sekadar dalam pemilu, tetapi dalam sejarah, maka jalannya hanya satu: kembali kepada tali Allah, kembali kepada fitrah persaudaraan, kembali ke agama yang kokoh.
Presiden Soekarno pernah berujar dalam pidatonya di awal kemerdekaan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menyatukan perbedaan, bukan memanfaatkannya untuk kekuasaan.” Ucapan ini tidak kehilangan relevansinya hingga hari ini.
Di tengah program ambisius menuju Indonesia Emas 2045, pertanyaannya bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi atau infrastruktur digital, tetapi juga: apakah kita mampu membangun bangsa yang tidak saling memperolok, tidak saling menyalahkan, dan tidak merasa benar sendiri?
Jika jawabannya belum, maka cita-cita itu bisa kandas sebelum sampai.
Musyrik Sosial: Dosa Tanpa Disadari
Musyrik bukan hanya soal menyembah berhala, tapi juga ketika manusia menyembah egonya, menyembah kuasanya, menyembah kelompoknya, hingga mematahkan ikatan persaudaraan yang Allah minta kita jaga.
Inilah musyrik dalam bentuk baru—tanpa berhala, tapi dengan retorika; tanpa kuil, tapi dengan layar digital; tanpa sesajen, tapi dengan perpecahan.
Dan seperti ditegaskan dalam Surah An-Nisa (4:48 dan 116), syirik adalah dosa yang tidak diampuni jika tidak disertai taubat.
“Jangan merasa aman dari murka Allah hanya karena merasa religius,” ucap Prof. Quraish Shihab. “Orang yang memecah belah umat karena merasa paling benar sejatinya sedang berjalan menjauh dari kebenaran itu sendiri.”
Akhirnya: Indonesia Tak Butuh Orang Hebat, Tapi Orang Bersaudara
Jika bangsa ini ingin sampai ke 2045 dengan selamat dan mulia, maka tidak cukup hanya membangun jalan tol dan gedung tinggi. Yang lebih penting: membangun jiwa yang bersaudara, hati yang bersih, dan pikiran yang jernih.
Al-Qur’an telah memberi peringatan. Tokoh-tokoh bangsa telah menyuarakannya. Kini tinggal kita memilih: bersatu dalam cahaya, atau terpecah dalam gelap yang kita buat sendiri.(acank)