ppmindonesia.com.Jakarta – Di tengah derasnya percakapan keagamaan, baik di mimbar-mimbar masjid, ruang kelas, hingga media sosial, kita menyaksikan fenomena yang kian mengkhawatirkan: ayat-ayat Al Qur’an dikutip serampangan, dipotong konteksnya, bahkan dipelintir untuk membenarkan kepentingan tertentu. Sebagian mungkin karena ketidaktahuan.
Tetapi sebagian lagi, sayangnya, karena kesombongan: merasa berhak berbicara atas nama Allah meski tanpa ilmu.
Allah sudah mengingatkan dalam firman-Nya:
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ ١١٦
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta: ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl:116)
Ironisnya, banyak yang tidak hanya asal bicara, tetapi juga sengaja menipu umat dengan memperalat ayat. QS. Ali Imran:78 menggambarkan kelompok seperti ini dengan gamblang:
يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لِمَ تَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَاَنْتُمْ تَشْهَدُوْنَ ٧٠
“Di antara mereka ada segolongan yang memutarbalikkan Kitab Suci dengan lidah mereka, agar kamu mengira itu dari Kitab, padahal itu bukan dari Kitab. Mereka mengatakan, ‘Ini dari Allah,’ padahal itu bukan dari Allah. Mereka berdusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahuinya.”
Dari ayat ini kita belajar bahwa memutarbalikkan ayat tidak hanya lahir dari kebodohan, tetapi juga kesombongan yang disengaja. Mereka sadar apa yang mereka katakan bukan dari Allah, tetapi tetap mengucapkannya demi mendapatkan legitimasi agama atas pendapat atau hawa nafsunya sendiri.
Profesor Fazlur Rahman pernah mengingatkan bahwa membaca Al-Qur’an tanpa ilmu dan kerendahan hati hanya akan melahirkan penyalahgunaan wahyu. “Al-Qur’an bukan slogan yang bisa dipetik sesuka hati untuk membenarkan prasangka, tetapi prinsip moral yang menuntut tanggung jawab dan pemahaman yang mendalam,” tegasnya.
Hal senada disampaikan oleh Syekh Muhammad Abduh, reformis Islam dari Mesir: “Orang yang paling berbahaya bagi agama ini bukan orang kafir, tetapi mereka yang mengaku beriman, tetapi berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan dengan penuh keyakinan yang salah.”
Fenomena ini diperparah oleh budaya masyarakat yang lebih suka mengikuti suara yang keras dan lantang daripada suara yang jernih dan tenang. Orang yang berbicara dengan penuh percaya diri, meski keliru, seringkali lebih mudah dipercaya daripada mereka yang rendah hati dan hati-hati.
Al-Qur’an juga menggambarkan bagaimana sifat seperti ini berujung pada penyesatan diri sendiri dan orang lain:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّلَا هُدًى وَّلَا كِتٰبٍ مُّنِيْرٍۙ ٨ثَانِيَ عِطْفِهٖ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِۗ لَهٗ فِى الدُّنْيَا خِزْيٌ وَّنُذِيْقُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ عَذَابَ الْحَرِيْقِ ٩
“Dan di antara manusia ada yang berbantah tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. Ia membalikkan badannya untuk menyesatkan orang lain dari jalan Allah. Baginya kehinaan di dunia, dan pada Hari Kiamat Kami akan merasakan kepadanya azab neraka yang membakar.” (QS. Al-Hajj:8–9)
Kebodohan bisa diatasi dengan belajar, tetapi kesombongan sering menjadi penghalang untuk belajar. Keduanya sama-sama berbahaya jika dipadukan: seseorang yang bodoh tetapi sombong merasa tidak perlu belajar dan terus berbicara tentang Allah, memutarbalikkan ayat, dan menipu umat.
Imam Malik pernah berpesan: “Siapa yang berkata tentang Kitab Allah tanpa ilmu, jika ia benar itu hanya kebetulan, tetapi jika ia salah, ia telah menyesatkan dirinya dan orang lain, dan tempatnya di neraka.”
Kita semua berkewajiban berhati-hati ketika berbicara tentang agama, apalagi menyitir firman Allah. Membaca Al-Qur’an bukan hanya soal menghafal kata-katanya, tetapi juga memahami maknanya, mempelajari konteksnya, dan menundukkan diri pada kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Di zaman ketika ayat-ayat mudah dikutip untuk membenarkan ego dan nafsu, kita perlu kembali pada pesan Al-Qur’an sendiri:
اِتَّبِعُوْا مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَ ٣
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian, dan janganlah kalian mengikuti selain-Nya sebagai pelindung. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf:3)
Akhirnya, marilah kita belajar dengan rendah hati, membaca dengan hati-hati, dan berbicara dengan penuh tanggung jawab. Jangan sampai lidah yang ringan berbicara tentang Allah, justru membawa kita pada kebinasaan.(emha)
 













 
							

 












