ppmindonesia.com. Jakarta – Di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar keluhan: “Ah, saya tidak suka politik, itu urusan mereka saja.” Atau: “Politik itu kotor, saya tidak mau ikut campur.”
Sayangnya, politik tidak pernah benar-benar bisa kita hindari. Bahkan ketika kita memilih diam, politik tetap hadir mengatur hidup kita. Dari harga sembako yang kita beli, jalan berlubang yang tidak kunjung diperbaiki, hingga masa depan anak-anak kita di sekolah—semua dipengaruhi oleh keputusan politik.
Karena itu, sudah saatnya kita berhenti melihat politik sebagai “urusan orang lain.” Politik adalah kita. Dan kita semua harus peduli.
Sejak ribuan tahun lalu, filsuf Yunani Plato sudah mengingatkan:
“One of the penalties for refusing to participate in politics is that you end up being governed by your inferiors.”
Salah satu hukuman karena menolak berpartisipasi dalam politik adalah Anda akan berakhir diperintah oleh bawahan Anda.”
Salah satu hukuman bagi mereka yang enggan terlibat dalam politik adalah diperintah oleh orang-orang yang kualitasnya lebih rendah dari kita.
Kalimat itu tetap relevan hingga hari ini. Ketika kita memilih untuk tidak peduli, kita menyerahkan hak kita kepada mereka yang mungkin tidak peduli pada kepentingan kita. Apatisme hanya memberi ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Lord Acton, sejarawan Inggris, juga pernah berkata:
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”
“Kekuasaan cenderung merusak, dan kekuasaan absolut merusak secara absolut.”
Kekuasaan yang tidak diawasi cenderung menyimpang, dan kekuasaan yang absolut sering kali berujung pada kehancuran. Maka, partisipasi publik bukan sekadar hak, tetapi juga kewajiban moral untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.
Banyak yang salah sangka menganggap politik hanya soal pemilu, pidato di atas podium, atau bagi-bagi kaos kampanye. Padahal, politik lebih dalam dari itu. Politik adalah cara kita bernegosiasi dalam masyarakat, cara kita menyampaikan aspirasi, memperjuangkan keadilan, dan memastikan pemerintah bertindak untuk kepentingan rakyat.
Politik juga bukan hanya milik politisi. Sebagaimana dinyatakan oleh Presiden AS John F. Kennedy:
“Let us not seek the Republican answer or the Democratic answer, but the right answer. Let us not seek to fix the blame for the past. Let us accept our own responsibility for the future.”
Janganlah kita mencari jawaban dari Partai Republik atau Demokrat, melainkan jawaban yang benar. Janganlah kita berusaha memperbaiki kesalahan masa lalu. Marilah kita menerima tanggung jawab kita sendiri untuk masa depan.
Tanggung jawab atas masa depan tidak hanya berada di pundak pemimpin, tetapi juga di tangan kita sebagai warga negara.
Di era modern, politik bahkan semakin dekat dengan kehidupan kita. Teknologi memungkinkan kita menyuarakan pendapat hanya dengan satu klik. Tetapi teknologi juga membawa tantangan: data kita bisa dimanfaatkan untuk memanipulasi opini, merusak demokrasi, dan mempertahankan status quo yang tidak adil. Di sinilah pentingnya literasi politik, supaya kita tidak mudah dibohongi dan bisa ikut mengawal jalannya pemerintahan.
Apakah semua orang harus jadi anggota partai? Tentu tidak. Tapi setiap orang punya peran: sebagai pemilih yang cerdas, sebagai pengawas kebijakan publik, bahkan sebagai warga yang berani menyampaikan kritik saat melihat ketidakadilan.
Sejarah sudah terlalu sering menunjukkan: perubahan besar hampir selalu lahir dari rakyat yang berani peduli, bukan dari mereka yang memilih diam.
Jadi, berhenti bilang politik itu kotor lalu menjauh. Politik itu kita. Politik itu milik semua warga negara. Dan kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi? (acank)