ppmindonesia.com.Bogor – Banyak orang mengaku beriman, namun sedikit yang benar-benar memahami apa yang diyakininya. Tidak jarang iman hanya diwarisi begitu saja, dijalani sebagai kebiasaan, tanpa pernah diselami maknanya. Padahal, Al-Qur’an menegaskan bahwa iman sejati hanya lahir dari ilmu dan penghayatan, bukan sekadar ikut-ikutan.
Di antara pesan paling kuat tentang pentingnya ilmu sebagai dasar iman terdapat dalam Surah Az-Zumar (39:9):
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِࣖ ٩
“Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang-orang berakal yang dapat menerima pelajaran.”
Ayat ini menggugah kita untuk menyadari bahwa iman bukanlah sesuatu yang cukup diwarisi atau ditiru, tetapi harus ditemukan melalui pengetahuan. Sebab, ilmu membuat seseorang mengerti apa yang ia yakini, mengapa ia memilih jalan itu, dan bagaimana menjalaninya dengan benar.
Sebaliknya, mereka yang beriman tanpa ilmu cenderung mudah goyah, seperti digambarkan dalam Surah Al-Hajj (22:11):
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّعْبُدُ اللّٰهَ عَلٰى حَرْفٍۚ فَاِنْ اَصَابَهٗ خَيْرُ ࣙاطْمَـَٔنَّ بِهٖۚ وَاِنْ اَصَابَتْهُ فِتْنَةُ ࣙانْقَلَبَ عَلٰى وَجْهِهٖۗ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةَۗ ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ ١١
“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah di tepi; maka jika dia memperoleh kebaikan, tetaplah dia dalam keadaan itu. Tetapi jika dia ditimpa cobaan, berbaliklah dia ke belakang. Ruginyalah dia di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.”
Sikap seperti ini lahir dari iman yang rapuh, karena tidak dibangun dengan ilmu dan kesadaran.
Ibnu Qayyim al-Jawziyah, seorang ulama besar, pernah berkata: “Ilmu adalah jiwa dari iman. Barang siapa beriman tanpa ilmu, maka ia akan tersesat dalam prasangka dan kebodohan.”
Dalam dunia modern yang penuh tantangan, pesan ini semakin relevan. Banyak orang mudah terombang-ambing oleh tren, isu-isu keagamaan yang viral, atau bahkan paham ekstrem karena mereka tidak punya dasar ilmu yang kokoh.
Kesadaran yang merdeka hanya bisa lahir dari ilmu. Hal ini ditegaskan pula dalam Surah Al-Isra’ (17:36):
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”
Ayat ini mengingatkan kita bahwa iman yang sejati bukan sekadar tradisi, melainkan pilihan sadar yang lahir dari pengetahuan dan pertanggungjawaban diri di hadapan Allah.
Muhammad Abduh, pembaharu pemikiran Islam, pernah berkata: “Iman yang tidak disertai ilmu tidak lebih dari kebiasaan. Ia mudah berubah oleh situasi, tidak memerdekakan, dan tidak mengangkat martabat manusia.”
Menjadi muslim yang beriman dengan ilmu berarti memilih jalan yang jernih. Ia bukan hanya menjalani ritual, tetapi juga memahami makna di baliknya, menghayati hikmah-hikmahnya, dan istiqamah meski godaan dan ujian datang.
Mereka inilah yang disebut dalam Surah Fussilat (41:30–31):
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ ٣٠
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah, maka malaikat-malaikat turun kepada mereka (dengan berkata): ‘Janganlah kamu takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya (surga) kamu akan memperoleh apa yang kamu sukai dan apa yang kamu minta.”
Beriman dengan ilmu adalah jalan untuk merdeka dari belenggu taklid buta, dari kebodohan, dan dari keraguan. Iman yang demikian bukan hanya menguatkan jiwa, tetapi juga memuliakan manusia, karena dijalani dengan kesadaran penuh sebagai makhluk yang berakal.
Pada akhirnya, iman yang berlandaskan ilmu bukan hanya membawa kita pada kedamaian, tetapi juga memampukan kita menjadi pribadi yang teguh, merdeka, dan bertanggung jawab — terhadap diri sendiri, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan.(husni fahro)
*Husni Fahro; peminat kajian Nasionalis Religius dan solidarits sosial, alumni IAIN Sumatera Utara tinggal di Bogor.