ppmindonesia.com.Jakarta – Di balik retorika solidaritas terhadap rakyat Palestina, dunia Arab menyimpan paradoks yang pahit. Hampir setiap pemimpin Arab menyerukan pembebasan Palestina, mengutuk pendudukan Israel, dan berjanji mendukung perjuangan rakyat Palestina. Namun ketika peluang itu benar-benar terbuka, dukungan mereka seringkali tak lebih dari slogan.
Mengapa demikian? Karena bagi sebagian besar rezim di kawasan itu, kemerdekaan Palestina bukan hanya soal mengakhiri pendudukan Israel, melainkan juga ancaman terhadap status quo mereka sendiri.
Sebab, negara Palestina yang merdeka berpotensi menjadi satu-satunya negara Arab yang lahir melalui perlawanan rakyat, dengan legitimasi demokratis, dan pemerintahan yang dipilih secara bebas. Dan itu bisa menjadi preseden yang “berbahaya” bagi tetangga-tetangganya yang masih dikuasai monarki, militer, atau otokrat.
Sebagian besar rakyat Palestina memang hidup di bawah penderitaan blokade dan pendudukan. Tetapi di sisi lain, mereka juga telah menunjukkan ketangguhan politik yang jarang kita lihat di Timur Tengah.
Mereka terbiasa dengan pemilu, partai politik yang beragam, dan debat politik yang keras. Bahkan dalam kondisi terjajah, mereka tetap menjalankan proses politik internal, meski sering diwarnai ketegangan antara faksi-faksi seperti Hamas dan Fatah.
Bayangkan jika Palestina merdeka: sebuah negara kecil dengan semangat nasionalisme yang kuat, masyarakat sipil yang aktif, dan pemerintahan yang relatif lebih akuntabel. Keberadaan mereka bisa menjadi cermin yang memalukan bagi rezim-rezim di sekitarnya, yang selama ini mempertahankan kekuasaan dengan represi, sensor, dan kooptasi rakyat.
Inilah sebabnya banyak pemerintah Arab bersikap ganda. Di satu sisi, mereka memanfaatkan isu Palestina untuk mengalihkan perhatian rakyat mereka sendiri dari masalah dalam negeri: kemiskinan, korupsi, atau kurangnya kebebasan.
Di sisi lain, mereka enggan mendorong penuh kemerdekaan Palestina, karena tahu bahwa Palestina merdeka bisa menjadi inspirasi bagi rakyat mereka untuk menuntut demokrasi dan hak yang sama.
Realitas ini membuat jalan menuju kemerdekaan Palestina semakin terjal. Bukan hanya karena kekuatan militer Israel yang superior, bukan hanya karena dukungan Barat kepada Tel Aviv, tetapi juga karena sikap ambigu negara-negara Arab yang seharusnya menjadi sekutu terdekat mereka.
Tragisnya, rakyat Palestina tetap terjepit di antara dua kutub: pendudukan Israel yang brutal di satu sisi, dan kemunafikan politik dunia Arab di sisi lain.
Jika benar demokrasi adalah mimpi yang masih jauh bagi Timur Tengah, maka Palestina merdeka bisa menjadi mimpi buruk bagi para penguasa yang takut kehilangan kursi mereka. Dan selama ketakutan itu lebih besar daripada keberanian mereka untuk berpihak pada keadilan, rakyat Palestina akan terus menanggung harga yang paling mahal.
Sudah saatnya dunia Arab bersikap jujur kepada diri mereka sendiri: apakah mereka benar-benar menginginkan kemerdekaan Palestina, atau hanya ingin menjaga ilusi solidaritas sambil mempertahankan kekuasaan mereka?
Kemerdekaan Palestina bukan sekadar soal keadilan bagi satu bangsa, tetapi juga ujian bagi moral dan keberanian seluruh kawasan. Sebab jika demokrasi adalah ancaman, maka siapa sesungguhnya yang mereka takuti? Rakyat mereka sendiri.(acank)