ppmindonesia.com.Jakarta – Jika kita cermati lebih dalam, peristiwa ini menunjukkan gejala ketimpangan relasi antara koperasi sebagai entitas berbasis nilai-nilai kolektif dan PT sebagai entitas berbasis kekuatan modal. Ketika koperasi harus menjalin kerja sama dengan mitra berbentuk PT—apalagi jika posisi tawarnya lemah—risiko eksklusi, pemiskinan institusional, bahkan pemiskinan sosial, bisa sangat besar.
Penarikan barang secara sepihak dari gerai koperasi menunjukkan bahwa telah terjadi kelalaian dalam aspek perlindungan hukum kerja sama. Bisa jadi karena kurangnya kemampuan negosiasi, lemahnya pemahaman hukum di pihak koperasi, atau desain perjanjian yang lebih menguntungkan mitra strategis. Ini menandakan kebutuhan mendesak akan pendampingan hukum, penguatan tata kelola SDM koperasi, dan penguatan manajemen risiko dalam setiap rencana ekspansi usaha.
Ironisnya, di tengah stigma negatif yang kerap disematkan pada koperasi simpan pinjam—yang dianggap sebagai rentenir berkedok koperasi—relasi antara koperasi dan PT mitra strategis dalam kasus ini justru tampak jauh lebih eksploitatif. Bahkan jika dibandingkan dengan relasi debitur dan kreditur di lembaga keuangan, intervensi sepihak ini melampaui logika bisnis sehat dan memasuki wilayah penindasan ekonomi.
Koperasi Bukan Sekadar Wadah Ekonomi, Tapi Pranata Sosial
Koperasi sejatinya bukan sekadar badan hukum usaha, melainkan pranata sosial dan ekonomi yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat, terutama di pedesaan. Di dalamnya terkandung nilai-nilai gotong royong, musyawarah, partisipasi aktif, serta orientasi pada kesejahteraan bersama.
Anwar Hariyono, Sekretaris Jenderal Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Nasional, ketika dihubungi pada 24 Juli 2025 menegaskan bahwa:
“Koperasi itu pada dasarnya adalah usaha dari sekumpulan orang yang memiliki usaha sejenis, dijalankan bersama dalam semangat kebersamaan dan gotong royong untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Bukan untuk kepentingan pribadi atau segelintir elite yang memanfaatkan rakyat demi kepentingan politik atau kekuasaan. Apalagi jika dibentuk secara instan tanpa nilai dan prinsip koperasi yang kuat.”
“Ketika koperasi digunakan sebagai alat politik atau kendaraan kepentingan jangka pendek, maka cepat atau lambat koperasi akan kehilangan jiwanya. Dan ketika roh koperasi dicabut, maka ia akan gentayangan, kehilangan arah, dan tidak tahu lagi kemana visi dan misinya ditujukan.”
Pernyataan ini menjadi peringatan keras bahwa koperasi bukan tempat menguji coba proyek-proyek instan bertopeng kerakyatan. Ia adalah rumah bersama yang harus dijaga nilai, arah, dan keberlanjutannya secara demokratis dan partisipatif.
Pelajaran Besar dan Tanggung Jawab Kolektif
Kasus KDMP Desa Pucangan adalah alarm dini bagi gerakan koperasi nasional dan semua pihak yang ingin mendorong kebangkitan ekonomi rakyat berbasis komunitas. Bila koperasi didorong untuk tumbuh melalui pola kemitraan, maka harus dipastikan bahwa kerja sama itu bersifat setara, adil, dan tidak merugikan salah satu pihak.
Pemerintah, khususnya BUMN yang kabarnya akan terlibat dalam skema pembiayaan koperasi, tidak boleh hanya berperan sebagai investor, tetapi harus menjadi fasilitator pembelajaran, pendampingan, dan penguatan kelembagaan koperasi. Koperasi bukan sekadar objek pembangunan, tapi subjek transformasi ekonomi rakyat.
Kita tidak bisa membangun 80.000 koperasi dalam semalam lalu membiarkannya satu per satu tumbang dalam senyap. Karena jika itu terjadi, yang runtuh bukan hanya koperasi, melainkan kepercayaan rakyat terhadap semangat gotong royong yang menjadi ruh bangsa ini. (acank)