ppmindonesia.com.Jakarta — Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diumumkan pada awal Juli 2025 memunculkan perdebatan baru terkait kedaulatan digital. Salah satu poin krusial dalam kesepakatan tersebut adalah dibukanya keran transfer data pribadi lintas negara. Sejumlah kalangan menilai, kesepakatan ini menyerupai praktik “jual beli data” yang sarat kepentingan ekonomi, tetapi mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan konstitusional terhadap data pribadi warga negara.
Dalam pernyataan bersama, kedua negara menekankan pentingnya “arus data lintas batas yang bebas dan terpercaya” untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital. Namun, frasa tersebut justru memantik kekhawatiran sejumlah pakar hukum dan perlindungan data karena berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Kita seperti menjual kedaulatan digital demi insentif dagang. Data pribadi warga negara bisa ditransfer ke luar negeri, tanpa kejelasan mekanisme pengawasan maupun hak timbal balik,” ujar pakar keamanan siber dari ICSF, Pratama Persadha, kepada Kompas, Rabu (23/7/2025).
Di Balik Penurunan Tarif
Kesepakatan ini lahir dari perundingan lanjutan pasca Indonesia dikeluarkan dari daftar negara berkembang penerima fasilitas tarif umum (GSP). Pemerintah AS menawarkan skema kerja sama yang mencakup penurunan tarif terhadap sejumlah produk ekspor RI, seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur, dengan syarat adanya komitmen terhadap liberalisasi sektor digital, termasuk kebijakan data.
“Yang kita khawatirkan, Indonesia masuk dalam jebakan perdagangan digital yang timpang. Kita menurunkan hambatan regulasi data, tetapi tidak memperoleh akses yang sama terhadap data perusahaan-perusahaan AS,” kata Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Damar menambahkan, dengan infrastruktur hukum data pribadi di AS yang belum setara dengan GDPR di Uni Eropa, tidak ada jaminan bahwa data warga Indonesia akan dilindungi secara maksimal di luar yurisdiksi nasional.
Potensi Risiko dan Ketimpangan
Menurut catatan Kementerian Perdagangan, potensi peningkatan ekspor dari skema dagang baru ini mencapai 1,2 miliar dolar AS per tahun. Namun, angka tersebut dinilai tidak sebanding dengan risiko jangka panjang terhadap kontrol negara atas data strategis.
“Data adalah aset strategis abad ke-21. Kalau dibiarkan bebas mengalir keluar tanpa kontrol dan prinsip resiprokal, kita berpotensi kehilangan kendali atas informasi sensitif publik, termasuk data biometrik, kebiasaan konsumsi, dan preferensi digital warga,” ujar Wahyudi Djafar dari ELSAM.
Ia menilai, tanpa otoritas perlindungan data yang independen dan kuat, perjanjian seperti ini bisa menjadi celah bagi perusahaan teknologi asing untuk mengakses pasar domestik tanpa tanggung jawab hukum yang setara.
Revisi UU PDP dan Tinjauan Konstitusional
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menegaskan bahwa perlindungan data pribadi adalah bagian dari hak asasi yang dijamin konstitusi. Ia mempertanyakan legitimasi kesepakatan tersebut jika bertentangan dengan UU PDP dan tanpa persetujuan parlemen.
“Kalau data bisa ditransfer begitu saja atas dasar perjanjian dagang, maka UU PDP menjadi tidak efektif. Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal prinsip dasar negara hukum yang menghargai hak warga,” tegas Feri.
Beberapa kalangan mendorong agar DPR segera memanggil pemerintah untuk memberikan penjelasan resmi. Diperlukan kejelasan apakah kesepakatan tersebut bersifat mengikat atau hanya kerangka kerja sama.
Perlindungan atau Perdagangan?
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengenai detail teknis pelaksanaan transfer data tersebut. Namun, Juru Bicara Kominfo, Bayu Widodo, mengatakan bahwa pemerintah tetap berkomitmen menjaga kepentingan nasional dalam transformasi digital.
“Semua kerja sama akan tetap mengacu pada UU PDP dan prinsip perlindungan data yang berlaku,” ujarnya singkat.
Namun, di tengah keterbukaan informasi yang minim dan kesepakatan yang dilakukan secara bilateral, publik menuntut transparansi dan perlindungan yang jelas. Tanpa pengawasan kuat dan ketentuan hukum yang tegas, kerja sama ini bisa berbalik menjadi bentuk baru ketimpangan digital global, dengan Indonesia sebagai pihak yang merugi.(emha)